Selasa, 07 April 2020
HUKUM AJAKAN TIDAK SHOLAT BERJAMAAH DAN SHOLAT JUM'AT DI MASJID
HUKUM AJAKAN TIDAK SHOLAT BERJAMAAH DAN SHOLAT JUM'AT DI MASJID
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيدنا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد:
Qowa’idl Fiqhiyyah menandaskan :
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus berdasarkan kemaslahatan
Kami sangat keberatan jika aktifitas shalat jama’ah, shalat jum’at, berjabat tangan sesama muslim satu jenis, kegiatan belajar-mengajar dalam sekolah dan madrasah dilarang (sebagaimana difatwakan oleh MUI) hanya karena ketakutan berlebihan dengan penularan Covid-19, lalu kemudian dikorelasikan dengan Qoidah fiqhiyyah yang berbunyi :
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Mencegah bahaya lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan
Padahal jika dianalisis lebih lanjut, penerapan Qoidah ini untuk realitas NKRI secara keseluruhan justru mengarah pada cacat argumentasi pasalnya virus Covid-19 ini belum menjangkiti seluruh penduduk Indonesia, sehingga komparasi penakaran antara maslahat dan mafsadah tidak berimbang
Jadi untuk konteks NKRI, mafsadah yang ditimbulkan Covid-19 masih Mauhumah ( belum nyata)
Sedangkan maslahat sholat Berjama’ah dan sholat jum’at sudah Muhaqqoqoh (nyata)
Jika realitanya demikian, mestinya terkena Qoidah fiqhiyyah yang berbunyi:
لا يجوز تعطيل المصالح المحققة أو الغالبة خوفا من وقوع المفاسد الموهومة أو النادرة
Tidak boleh mengabaikan maslahat yang sudah nyata, hanya karena takut terjerumus pada mafsadah yang belum nyata atau yang langka” (al-Qowa’id al-Kubro:89)
Sehingga larangan sholat berjama’ah atau sholat jum’at atas dasar mafsadah mauhumah tidak memiliki relevansi dalil syar’i bahkan jika diteliliti lebih detail menurut nalar fiqhiyyah,
Untuk skala nasional, Sholat Berjama’ah dan sholat Jum’at tidak boleh dilarang, dengan pertimbangan sebuah Qoidah Fiqhiyyah:
المصلحة المحققة مقدمة على المفسدة الموهومة
Kemaslahatan yang nyata wajib didahulukan dari pada mafsadah yang belum nyata
Jika mereka berdalih, Covid-19 lebih bahaya dari pada udzur-udzur shalat jama’ah-jum’at yang tertera dalam kutubussalaf, jadi melarang aktifitas sholat berjama’ah-sholat jumat lebih awlawi.
Maka kami jawab, udzur-udzur yang tertera dalam fiqh seperti Sakit, Hujan, dan lain sebagainya itu sifatnya personal (berlaku bagi perorangan) bukan Komunal (berlaku bagi semua orang)
Jadi perlu penjernihan pemahaman terhadap teks fiqhi, agar tidak salah dalam menginterpretasikan kalamul fuqoha
Beda halnya jika suatu daerah sudah ditetapkan darurat Covid-19, seperti Jakarta misalnya, kami sendiri belum mengetahui detail permasalahannya, Wallahu a’lam. Akan tetapi yang harus dicatat, perlu adanya pemilahan yang selektif, kan tidak semua wilayah di Jakarta terdampak Covid-19 sehingga satu wilayah dengan wilayah yang lain harus ada standar hukum yang berbeda, hal ini karena memperhatikan hukum kewajiban mendirikan sholat jum’at pakai standar Suurul balad (batas desa), sehingga masing-masing desa memiliki hukum tersendiri (لكل بلد حكمه), jadi tidak boleh di-gebyah uyah-uyah ( pukul rata semua secara nasional).
Oleh karenanya, masih terkena hukum wajib jum’atan bagi setiap orang yang tidak terpapar Covid-19
Meski pada pelaksanaannya, jumlah peserta jumatan tidak mencapai 40 orang, karena masih banyak qoul ulama yang memperbolehkan mendirikan jum’atan dengan peserta kurang dari 40 orang. Walhasil jangan sampai terjadi Ta’thilul masjid anil jama’ah wal jum’ah.
Adapun jika ada warga yang terpapar positif Covid-19, maka pemerintah harus mengisolasinya, menangani secara khusus, ia tidak boleh berinteraksi dengan orang lain, sebagaimana konsep fiqh melarang
DIKUTIP DARI GRUP WA"ALQUR'AN DAN HADITS 7"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar