Dalam kaitan ini, Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal. 120) membagi orang lain ke dalam tiga tipologi sebagaimana kutipan berikut:
TIPOLOGI PERTAMA
Pertama, شَخْصٌ مَعْرُوْفٌ عِنْدَكَ بِاْلخَيْرِ وَالصَّلاَحِ (Seseorang yang benar-benar kita kenal sebagai orang baik dan saleh). Di antara sekian banyak orang lain, tentu ada di antara mereka yang kita mengenalnya sebagai orang baik dan saleh. Ukuran baik dan saleh tentu berdasarkan ketakwaannya kepada Allah yang meliputi kesalehan secara vertikal, yakni dalam hubungannya dengan Allah subhanahu wa ta’ala sendiri, dan kesalehan secara horizontal, yakni dalam hubungannya dengan makhluk-makhluk-Nya terutama sesama manusia. Dengan kata lain yang dimaksud dengan orang saleh di sini adalah orang yang baik tidak saja di mata Allah tetapi juga di mata manusia.
Terhadap orang seperti ini, Sayyid Abdullah al-Haddad berpesan kepada kita sebagai berikut:
فَكُلْ مِنْ طَعَامِهِ وَعَامِلْهُ إِذَا شِئْتَ وَلَا تَسْأَلْ
Artinya, “Anda boleh makan makanan apa saja yang dihidangkannya dan boleh pula Anda berhubungan dengannya di bidang perdagangan, bila Anda ingin. Dalam hal ini, Anda tidak perlu menanyakan tentang asal-usul dari mana hartanya terutama untuk membeli makanan itu.”
Jadi terhadap orang lain yang secara pribadi kita mengetahui kesalehannya secara jelas, kita memiliki banyak kebebasan untuk bermuamalah dengannya. Jika ia menghidangkan makanan kepada kita, nikmatilah makanan itu dengan baik tanpa mempertanyakan apakah uang yang digunakan untuk membeli makanan itu halal atau haram. Jika ia mengajak kita sebagai mitra bisnis atau berkerja sama dalam bidang sosial, misalnya, kita dapat menerima tawaran itu dengan baik dan dapat memulainya segera tanpa menunda-nunda agar kita dapat mengambil manfaat dari kebaikan-kebaikannya.
TIPOLOGI KEDUA
Kedua, شَخْصٌ مَجْهُوْلٌ عِنْدَكَ وَلَا تَعْرِفُهُ بِخَيْرٍ وَلَا بِشَرٍّ (Seseorang yang benar-benar tidak Anda kenal, tidak sebagai orang baik ataupun orang jahat).
Sudah pasti tidak mungkin kita mengenal setiap orang. Di antara mereka yang berjumlah sangat banyak itu, ada orang-orang yang kita tidak tahu sama sekali apakah ia orang saleh atau malah sebaliknya orang jahat. Kita benar-benar tidak tahu siapa dan bagaimana mereka. Terhadap orang seperti ini, Sayyid Abdullah al-Haddad berpesan kepada kita sebagai berikut:
فَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تُعَامِلَ هَذَا أَوْ تَقْبِلَ هَدِيَّتَهُ فَمِنَ اْلوَرَعِ أَنْ تَسْأَلَ، وَلَكِنَّ بِرِفْقٍ حَتَّى إِنَّكَ لَوْ عَرَفْتَ أَنَّهُ يَنْكَسِرُ قَلْبَهُ لِذَلِكَ كَانَ اَلسُّكُوْتُ أَفْضَلُ
Artinya: “Jika Anda hendak berhubungan dengannya ataupun menerima hadiah darinya, sebaiknya Anda, demi mempertahankan wara’, bertanya dan menyelidiki terlebih dahulu, tentunya dengan cara halus sehingga tidak menyinggung perasaannya. Sekiranya dia akan tersinggung, maka sikap diam akan lebih baik.” Jadi terhadap orang lain yang kita tidak kenal sama sekali, kita harus bersikap waspada. Sikap waspada tidak identik dengan su’udhan (prasangka buruk). Kita tidak boleh bersikap gegabah menerima setiap pemberian orang lain atas nama husnudhan (prasangka baik). Sikap husnudhan yang membabi buta akan menjauhkan dari objektivitas dalam melihat persoalan. Sikap yang tepat dalam menghadapi orang-orang yang belum jelas baik buruknya adalah wara’, yakni berhati-hati untuk tidak tergesa-gesa menerima atau menolak pemberiannya, termasuk berupa informasi, sebelum melakukan klarifikasi atau konfirmasi secara langsung atau tidak langsung kepada orang tersebut tentang status kehalalan barang-barangnya dan kebenaran informasinya bagaimana ia mendapatkan semua itu. Tentu saja cara kita mengklarifikasi dan mengorfirmasi harus berhati-hati agar tidak menyinggung perasaannya. Misalnya, dengan meminta kepastian bahwa barang yang ia berikan tidak bermasalah secara hukum baik menurut hukum syariat maupun hukum negara. Demikian pula informasi yang ia sampaikan apakah benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Jamaah Jumat hafidhakumullah,
TIPOLOGI KETIGA
Ketiga, شَخْصٌ مَعْرُوْفٌ عِنْدَكَ بِالظُّلْمِ
(Seserong yang kita kenal kezalimannya). Adanya setan dalam kehidupan ini, menjadikan selalu saja ada manusia yang tidak saleh alias zalim. Ia bisa berada di mana saja termasuk dalam lingkungan terdekat kita. Bentuk kezalimannya bisa bermacam-macam sebagaimana penjelasan Sayyid Abdullah al-Haddad sebagai berikut:
كَاَّلَذِي يَعْمَلُ بِالرِّبَا وَيُجَازِفُ فِي بَيْعِهِ وَشِرَائِهِ وَلَا يُبَالِيْ مِنْ أَيِّ جِهَةٍ يَصِلُ إِلَيْهِ اْلمَالُ
Artinya: “Contoh orang zalim adalah, pertama, pemakan riba atau rentenir. Kedua, orang yang melampaui batas dalam berjual-beli. Ketiga, orang yang tidak peduli dari mana dan bagaimana mendapatkan keuntungan yang menjadi kekayaannya.” Terhadap orang-orang zalim seperti itu, Sayyid Abdullah al-Haddad berpesan kepada kita sebagai berikut:
فَيَنْبَغِيْ أَنْ لَا تُعَامِلَ هَذَا رَأْساً، وَإِنْ كَانَ وَلَا بُدَّ فَقَدِّمْ اَلتَّفْتِيْشَ وَالسُّؤَالَ، وَهَذَا كُلُّهُ مِنَ اْلوَرَعِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ اْلحَلَالَ فِيْ يَدِهِ نَادِرٌ عَزِيْزٌ فَعِنْدَ ذَلِكَ يَجِبُ عَلَيْكَ اَلْاِحْتِرَازُ. وَإِذَا وَصَلَتْ إِلَيْكَ عَيْنٌ تَعْلَمُ أَوْ ظَنٌّ بِعَلَامَةٍ ظَاهِرَةٍ أَنَّهَا حَرَامٌ أَوْ شُبْهَةٌ فَلَا تَتَوَقَّفْ عَنْ رَدِّهَا وَإِنْ وَصَلَتْ إِلَيْكَ عَلىَ يَدِ أَصْلَحِ الصَّالِحِيْنَ
Artinya: “Hendaknya Anda tidak bermuamalah dengan orang seperti ini secara langsung. Atau jika memang tak bisa dihindari, selidikilah terlebih dahulu dengan seksama sehingga Anda beroleh keyakinan bahwa bagian itu termasuk hartanya yang halal. Dan bila terungkap bagimu bahwa miliknya yang halal amat sedikit dan jarang sekali, berhentilah bermumalah dengannya. Disamping itu, apabila sampai ke tangan Anda sesuatu yang Anda ketahui, atau sangka, dengan tanda-tanda tertentu bahwa itu adalah haram atau syubhat, jangan ragu-ragu menolaknya walaupun seandainya sampai ke tanganmu melalui seorang yang paling saleh di antara orang-orang saleh.” Pesan dari Sayyid Abdullah al-Haddad di atas cukup relevan dengan keadaan sekarang dimana tidak jarang beberapa koruptor menyalurkan hasil korupsinya dengan pihak-pihak lain dalam rangka mencuci uangnya atau disebut dengan money laudering guna menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/121233/khutbah-jumat--tiga-tipologi-orang-dan-cara-terbaik-menyikapinyaTiga Tipologi Orang dan Cara Terbaik Menyikapinya Muhammad Ishom Kamis 2 Juli 2020 11:00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar