Doa dan ikhtiar itu sesungguhnya juga takdir.
Bila Allah Swt hendak memberi anugerah seseorang, maka si hamba juga ditakdirkan dan diberi kemampuan untuk berdoa dan berikhtiar.
Doa dan ikhtiar hanyalah tanda-tanda takdir itu sendiri.
Allah memerintahkan kita berupaya dan berdoa agar kita memahami bahwa kita sangat terbatas dan tak berdaya, sehingga doa dan upaya adalah bentuk kesiapan kehambaan belaka agar kita siap menyongsong takdirNya.
Aturan syariat mengharuskan kita berikhtiar dan berdoa, karena syariat adalah aturan bagi keterbatasan manusia, dengan bahasa dan tugas manusiawi (taklifi), maka seseorang akan berdoa dan beriktiar dengan penuh kepasrahan dan kerelaan pada ketentuan dan pilihan terbaikNya. Bukannya berdoa untuk memaksaNya mengubah takdirNya.
Maka Ibnu Athaillah menegaskan dengan ucapan beliau:“Maha Besar (jauh) bila hukum AzaliNya harus disandarkan pada sebab akibat yang baru.”
Allah Swt adalah sebab segalanya. Dan segalanya bergantung semua kepada Allah Swt. Allah Swt tidak pernah menjadi akibat; seperti akibat kita berdoa Allah menuruti apa yang kita mau, akibat kita berusaha Allah mengubah takdirNya. Jauh dan Maha Suci dari hal-hal seperti itu.
Berdoa kita lakukan semata untuk ‘ubudiyah, manifestasi kehambaan kita akan terwujud ketika kita berdoa. Sebab dengan berdoa manusia merasa hina dina, merasa butuh, merasa tak berdaya dan merasa lemah di hadapanNya. Dan itulah hakikat ubudiyah dibalik doa, agar kita tetap menjaga rasa hina, rasa fakir, rasa tak berdaya dan rasa lemah. Karena dengan nuansa seperti itu kita akan cukup bersama Allah, mulia bersamaNya, mampu bersamaNya, kuat bersamaNya. Wallahu A’lam.
Dikutip dari www.sufinews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar