DISAMPAIKAN DI MUSHOLA AL MUSYAROFAH,SABTU 29 JUANUARI 2021,KAJIAN BA'DA SUBUH
*️Syaikh Kamâl Al-Adanîy rohimahulloh mengatakan,*
*SEBAB-SEBAB TIDAK MENDAPATKAN HIDAYAH*
1⃣ KEKUFURAN.
Allôh ta'âla berfirman
(وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ)
_"Dan Allôh tidaklah memberikan hidayah kepada orang-orang yang kafir."_ [QS. Al-Baqoroh 264]
Dan firmanNya:
(كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ
_"Bagaimana mungkin Allôh akan memberikan petunjuk kepada kaum yang kafir sesudah keimanan mereka."_
[QS. Âlî-Imrôn:86]
*Kafir adalah orang yang menentang dan menolak kebenaran dari Allah SWT yang disampaikan RasulNya. Kafir ada empat macam, yakni: pertama, kafir inkar, yaitu mengingkari tauhid dengan hati dan lisannya; Kedua, kafir penolakan (Juhud), yaitu mengingkari dengan lisannya dan mengakui dalam hatinya; Ketiga, kafir Mu’anid, yaitu mengetahui kebenaran Islam dalam hatinya dan dinyatakan oleh lisannya, namun ia menolak beriman; Keempat, kafir nifaq, yaitu menyatakan beriman dengan lisannya, namun hatinya mengingkari.(*https://mui.or.id/tanya-jawab-keislaman/28366/apakah-kriteria-orang-dapat-disebut-dengan-kafir/)
silahkan baca juga" jenis-jenis kekafiran"klik:https://hikmah-adi.blogspot.com/2020/12/kajian-jenis-jenis-kekafiran.html
2⃣ KEDZOLIMAN.
Allôh ta'âla berfirman:
وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ)
_"Allôh tidaklah memberikan hidayah kepada orang-orang yang dzolim."_ [QS. Âlî-Imrôn:86]
*dalam Al-Qur'an zalim memiliki beberapa makna, di antaranya dalam beberapa surah sebagai berikut:
- Al Baqarah 165 dan Huud 101, orang-orang yang menyembah selain Allah.
- Al Maa-idah 47, karena menuruti hawa nafsu dan merugikan orang lain.
- Al Kahfi 35, zalim pada ayat ini sebuah sifat keangkuhan dan perbuatan kekafirannya.
- Al-Anbiyaa' 13, Orang yang zalim itu di waktu merasakan azab Allah melarikan diri, lalu orang-orang yang beriman mengatakan kepada mereka dengan secara cemooh agar mereka tetap ditempat semula dengan menikmati kelezatan-kelezatan hidup sebagaimana biasa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dihadapkan kepada mereka.
- Al 'Ankabuut 46, Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim pada ayat ini adalah orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan.
Hadits
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Sirin, Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa, "Di antara bentuk kezaliman seseorang terhadap saudaranya adalah apabila ia menyebutkan keburukan yang ia ketahui dari saudaranya dan menyembunyikan kebaikan-kebaikannya."[1]
Kata zalim berasal dari bahasa Arab, dengan huruf “dzho lam mim” (ظ ل م ) yang bermaksud gelap. Di dalam al-Qur’an menggunakan kata zhulm selain itu juga digunakan kata baghy, yang artinya juga sama dengan zalim yaitu melanggar hak orang lain. Namun pengertian zalim lebih luas maknanya ketimbang baghyu, tergantung kalimat yang disandarkannya. Kezaliman itu memiliki berbagai bentuk di antaranya adalah syirik.
Kalimat zalim bisa juga digunakan untuk melambangkan sifat kejam, bengis, tidak berperikemanusiaan, suka melihat orang dalam penderitaan dan kesengsaraan, melakukan kemungkaran, penganiayaan, kemusnahan harta benda, ketidak adilan dan banyak lagi pengertian yang dapat diambil dari sifat zalim tersebut, yang mana pada dasarnya sifat ini merupakan sifat yang keji dan hina, dan sangat bertentangan dengan akhlak dan fitrah manusia, yang seharusnya menggunakan akal untuk melakukan kebaikan.(*https://id.m.wikipedia.org/wiki/Zalim)
3⃣ KEFASIKAN.
Allôh ta'âla berfirman:
(وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ)
_"Dan Allôh tidaklah memberikan hidayah kepada orang-orang yang fasiq."_
[QS. Al-Ma'idah:108]
*Fasik secara etimologi berarti "keluar dari sesuatu".[1] [2] Sedangkan secara terminologi berarti seseorang yang menyaksikan, tetapi tidak meyakini dan melaksanakannya.[1] Dalam agama Islam, pengertian dari fasik adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.[3]
Seseorang yang selalu melakukan dosa akan menganggap bahwa dosa adalah hal yang biasa dan sulit untuk meninggalkannya.[2] Dan, hal tersebut dapat membuat mereka keluar dari agama (murtad).[2]
Fasiq dapat dibedakan menjadi 2 jenis:
- Fasiq kecil yakni, seseorang yang masih berbuat maksiat atau dosa namun masih memiliki iman dalam hatinya.[2] Seperti: menuduh perempuan baik berzina.[2]
- Fasiq besar yakni, seseoang yang telah menyekutukan Tuhannya karena perbuatan atau perkataan.[2)
4⃣ MELAMPAUI BATAS DAN KEDUSTAAN.
Allôh ta'âla berfirman:
(إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ)
_"Sesungguhnya Allôh tidaklah memberikan hidayah kepada orang yang melampaui batas dan pendusta."_
[QS. Ghôfir:28]
5⃣ BERKAWAN DENGAN SYAITHÔN.
Allôh ta'âla berfirman:
(كُتِبَ عَلَيْهِ أَنَّهُ مَنْ تَوَلَّاهُ فَأَنَّهُ يُضِلُّهُ وَيَهْدِيهِ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ)
_"Telah ditetapkan bahwa siapa yang berkawan dengan dia (Syaithon), maka dia akan menyesatkannya dan membawanya ke adzab neraka."_
[QS. Al-Hajj:4]
Ayat 21
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur: 21)
Enam langkah Setan dalam Menyesatkan Manusia
Langkah pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
Langkah kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan.
Langkah ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair).
Langkah keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).
Langkah kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya).
Langkah keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdhal, padahal ada amalan yang lebih afdhal.
Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/17332-faedah-surah-an-nuur-12-jangan-ikuti-langkah-setan.html
6⃣ MENGIKUTI HAWA (NAFSU).
Allôh ta'âla berfirman:
(وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِِ)
_"Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga hal itu menyesatkan dirimu dari jalan Allôh."_
[QS. Shôd 26]
*REPUBLIKA.CO.ID,Oleh DR Oni Sahroni
Dalam bahasa Indonesia, hawa nafsu bermakna keinginan atau dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik, seperti syahwat dan sejenisnya. Makna ini mirip dengan asal kata pembentukannya dalam bahasa Arab karena hawa adalah keinginan dan nafs adalah jiwa.
Sesungguhnya manusia diciptakan dengan potensi keinginan yang baik (takwa) dan keinginan buruk (nafsu atau fujur). Kedua keinginan tersebut menunjukkan sifat keseimbangan (at-tawazun) dan kemanusiaan (al-basyariah) dalam diri manusia. Oleh karena itu, nafsu adalah fitrah manusia, sebagaimana takwa juga adalah fitrah. Hal ini yang ditegaskan dalam Alquran, yang artinya, "Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya." (QS asy-Syams: 7-8).
Sebagai bagian dari ujian Allah SWT, setiap jiwa manusia cenderung untuk berbuat dosa dan maksiat. Jika manusia dihadapkan pada pilihan yang baik atau pilihan yang buruk, ia lebih tertarik melakukan pilihan yang buruk.
Contohnya, jika ada pilihan, bekerja keras ataupun istirahat, pilihan istirahat lebih menarik. Jika ada pilihan, shalat Tahajud atau istirahat, jiwa manusia cenderung memilih istirahat. Hal ini sesuai dengan penegasan Alquran, yang artinya, "Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang." (QS Yusuf: 53).
Nafsu tersebut jika dibiarkan atau tidak dikendalikan, setiap perilaku manusia akan tidak baik. Berkata tidak jujur, berbuat fitnah, mengadu domba, adalah sebagian kecil dari praktik memperturutkan nafsu.
Bisa dibayangkan, jika nafsu tersebut dibiarkan tanpa kendali, sosok manusia yang diciptakan dengan sempurna itu—akan menjadi beringas, bahkan digambarkan dalam Alquran, manusia menjadi buas seperti hewan. "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS al-A'raf: 79).(*https://m.republika.co.id/berita/mrlqya/mengendalikan-hawa-nafsu)
*Hawa nafsu" terdiri dari dua kata: hawa (الهوى) dan nafsu (النفس).
Dalam bahasa Melayu, 'nafsu' bermakna keinginan, kecenderungan atau dorongan hati yang kuat. Jika ditambah dengan kata hawa (=hawa nafsu), biasanya dikaitkan dengan dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik. Adakalanya bermakna selera, jika dihubungkan dengan makanan. Nafsu syahwat pula berarti keberahian atau keinginan bersetubuh.[2]
Ketiga perkataan ini (hawa, nafsu dan syahwat) berasal dari bahasa Arab:
- Hawa (الهوى): sangat cinta; kehendak
- Nafsu (النفس): roh; nyawa; jiwa; tubuh; diri seseorang; kehendak; niat; selera; usaha
- Syahwat (الشهوة): keinginan untuk mendapatkan yang lazat; berahi.[3]"
Ada sekolompok orang menganggap hawa nafsu sebagai "syaitan yang bersemayam di dalam diri manusia," yang bertugas untuk mengusung manusia kepada kefasikan atau pengingkaran. Mengikuti hawa nafsu akan membawa manusia kepada kerusakan. Akibat pemuasan nafsu jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang didapat darinya. Hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan juga dapat merusak potensi diri seseorang.
Sebenarnya setiap orang diciptakan dengan potensi diri yang luar biasa, tetapi hawa nafsu dapat menghambat potensi itu muncul kepermukaan. Potensi yang dimaksud di sini adalah potensi untuk menciptakan keadilan, ketenteraman, keamanan, kesejahteraan, persatuan dan hal-hal baik lainnya. Namun karena hambatan nafsu yang ada pada diri seseorang potensi-potensi tadi tidak dapat muncul kepermukan (dalam realita kehidupan). Maka dari itu mensucikan diri atau mengendalikan hawa nafsu adalah keharusan bagi siapa saja yang menghendaki keseimbangan, kebahagian dalam hidupnya karena hanya dengan berjalan di jalur-jalur yang benar sajalah menusia dapat mencapai hal tersebut.(*https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hawa_nafsu)
📚 lihat "Ifâdatul Anâm fîe Syarhil Lâmiyah Syaikhil Islâm" hal.20.
📲 masjid imam ahmad
https://t.me/masjidimamahmad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar