Sabtu, 26 Juli 2014

hakikat idul fitri

Syeikh Abdul Qodir Al-Jilany

( Dalam Kitab Sirrul Asror )

Puasa Syariat adalah menahan diri dari makan dan minum, dan dari berhubungan suami isteri 
di siang hari.
Puasa Thoriqoh itu, mengekang seluruh tubuhnya dari hal-hal yang diharamkan,
dilarang dan dicela, seperti ujub, takabur, bakhil dan sebagainya secara lahir maupun batin. 
Karena semua itu bisa membatalkan puasa thoriqoh.
Puasa syariat itu ada batas waktunya. Sedeangkan Puasa thoriqoh senantiasa abadi tak terbatas seumur hidupnya. Itulah yang disabdakan oleh Rasulullah saw:
كم من صائم ليس له جزاء إﻻ الجوع والعطس
“Betapa banyak orang berpuasa tetapi puasanya tidak lebih melainkan hanya rasa lapar…” (Hr. Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Karena itu disebutkan, betapa banyak orang berpuasa tetapi ia justru berbuka, dan betapa banyak orang yang berbuka (tidak puasa) namun ia berpuasa. Yakni menahan anggota badannya dari dosa-dosa, menahan diri dari menyakiti manusia secara fisik, seperti firman Allah Ta’ala dalam hadits Qudsy: 
“Puasa itu untuk Ku dan Aku sendiri yang membalas pahala puasa.” (Hr. Bukhori)
“Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka, dan kegembiraan ketika memandang Keindahan Ku.”
Bagi Ulama syariat dimaksud dengan berbuka adalah makan ketika matahari maghrib, dan melihat bulan di malam Idul Fitri. Sedangkan ahli thoriqoh menegaskan bahwa berbuka itu akan diraih ketika masuk syurga dengan memakan kenikmatan syurga, dan kegembiraan ketika memandang Allah swt. Yaitu ketika bertemu dengan Allah Ta’ala di hari qiyamat nanti, dengan pandangan rahasia batin secara nyata.
Sedangkan Puasa Hakikat adalah puasa menahan hati paling dalam dari segala hal selain Allah Ta’ala, menahan rahasia batin (sirr) dari mencintai memandang selain Allah Ta’ala seperti disampaikan dalam hadits Qudsy: 
الإنسان سري وأنا سره
“Manusia itu rahasiaKu dan Aku rahasianya.”
Rahasia itu bermula dari Nurnya Allah swt, hingga ia tidak berpaling selain Allah Ta’ala. Selain Allah Ta’ala, tidak ada yang dicintai atau disukai dan tak ada yang dicari baik di dunia maupun di akhirat.
Bila terjadi rasa cinta kepada selain Allah gugurlah puasa hakikatnya. Ia harus segera mengqodho puasanya, yaitu dengan cara kembali kepada Allah swt dan bertemu denganNya. Sebab balasan Puasa Hakikat adalah bertemu Allah Ta’ala di akhirat.
IDUL FITHRI 
SEBAGAI PERJALANAN SPIRITUAL MENEMUI ALLAH  ( 2 )
Oleh : Abu Irsyad
Setiap tanggal 1 Syawal seluruh umat Islam di Indonesia telah merayakan Hari Idul Fithri dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur. Hari Raya Idul Fitri merupakan puncak dari seluruh rangkaian proses ibadah selama bulan Ramadhan dimana dalam bulan tersebut kita melakukan ibadah Shaum dengan penuh keimanan kepada Allah SWT. Penetapan Hari Raya Idul Fitri oleh Rasulullah dimaksudkan untuk menggantikan Hari Raya yang biasa dilaksanakan orang-orang Madinah pada waktu itu. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW yaitu :
“Jabir ra. Berkata : Rasulullah SAW dating ke Madinah sedangkan bagi penduduk Madinah ada dua hari yang mereka (bermain-main padanya dan merayakannya dengan berbagai permainan). Maka Rasulullah SAW bertanya : “Apakah hari yang dua ini?” penduduk Madinah menjawab : “Adalah kami dimasa jahiliyah bergembira ria padanya”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Allah telah menukar dua hari ini dengan lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri”. (HR Abu Daud).
Berdasarkan hadits di atas, kita lihat betapa pentingnya keberadaan Hari Raya Idul Fitri bagi umat Islam oleh sebab itu penulis mencoba membahas masalah Hakikat Idul Fitri menurut pandangan Ilmu Tasawuf.
Pengertian Idul Fitri
Mayoritas umat Islam mengartikan Idul Fitri dengan arti “kembali menjadi suci”. Pendapat ini didasari oleh sebuah hadits Rasulullah SAW yaitu :
“Barangsiapa yang melaksanakan ibadah Shaum selama satu bulan penuh dengan penuh keimanan kepada Allah maka apabila ia memasuki Idul Fitri ia akan kembali menjadi fitrah seperti bayi (Tiflul) dalam rahim ibunya”. (HR Bukhari).
Menurut penulis pendapat yang mengartikan Idul Fitri dengan “kembali menjadi suci” tidak sepenuhnya benar karena kata “Fithri” apabila diartikan dengan “Suci” tidaklah tepat. Sebab kata “Suci” dalam bahasa Arabnya adalah “Al Qudus” atau “Subhana”. Jadi menurut penulis istilah Idul Fitri dapat diartikan sebagai berikut : kata “Id” berarti “kembali” sedangkan kata Fitri” berarti “Pencipta” atau “Ciptaan”. Dalam bahasa Arab akar kata Fitri berasal dari kata Al Fathir yang bisa berubah menjadi kata Al Fithrah, Al Fathrah atau Al Futhura, sebagai contoh lihat ayat di bawah ini :
Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS Faathir 35 : 1).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa kata “Idul Fitri” mempunyai minimal dua pengertian yaitu :
1. Kembali ke Pencipta
2. Kembali ke awal Penciptaan
Dua pengertian Idul Fitri yang dikemukakan oleh penulis seperti tersebut di atas mungkin sangat asing dan juga mengherankan para pembaca. Oleh sebab itu penulis akan mencoba menjelaskan masalah tersebut berdasarkan ayat-ayat dalam Al Qur’an.
IDul Fithri Sebagai Proses Ke awal Penciptaan
Menurut ahli tasawuf hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama yaitu jasmani dan bangunan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan oleh Allah melalui 7 proses kejadian yaitu :
1. Sari pati tanah
2. Nutfah
3. Segumpal darah
4. Segumpal daging
5. Pertumbuhan tulang belulang
6. Pembungkusan tulang belulang dengan daging
7. Peniupan Roh-Ku ke dalam janian
Proses tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an yaitu :
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami jadikan sari pati itu air mani yang ditempatkan dengan kokoh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, dari segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang-belulang. Kemudian tulang belulang itu kami bungkus dengan daging”. (QS Al Mu’minun 23 : 12 – 14).
“Kemudian Ia menyempurnakan penciptaan-Nya dan Ia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa tetapi sedikit sekali kamu bersyukur”. (QS As Sajadah 32 : 9).
Berdasarkan firman Allah tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa setiap manusia lahir atau diciptakan pasti akan melalui proses kejadian bayi dalam kandungan yang mendapat tiupan Roh dari Allah (Roh-Ku).
Berdasarkan penyelidikan para ahli embriologi dapat diketahui fase-fase perkembangan seorang bayi seorang bayi dalam kandungan dan juga keadaan serta cirri-ciri dari bayi tersebut seperti gambar yang dapat dilihat di halaman berikutnya.
Berdasarkan gambar-gambar tersebut dapat kita amati dan kita ketahui keadaan seorang bayi dalam kandungan yaitu :
1.Seorang bayi dalam kandungan selalu dibungkus oleh lapisan Amnion yang berisi air ketuban (Amnion water atau kakang kawah).
Karena seorang bayi berada dalam air ketuban maka sembilan lubang yang ada pada jasmamaninya secara otomatis tertutup dan tidak berfungsi. Kesembilan lubang itu adalah : dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang anus, satu lubang kelamin. Tetapi ada satu lubang yang ke sepuluh justru terbuka yaitu lubang pusar yang dihubungkan oleh tali plasenta ke rahim ibu. Tali plasenta ini berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan zat-zat makanan dari rahim ibu kepada bayi tersebut. Dalam bahsa Jawa tali plasenta tersebut dinamakan adik ari-ari.
2.Dengan tertutupnya sembilan lubang yang terdapat pada seorang bayi dalam kandungan rahim ibu, maka secara otomatis seluruh indera bayi belum berfungsi dengan kata lain bayi pada saat itu tidak bias melihat, mendengar, berkata-kata, bernafas, serta tidak bias buang air besar maupun air kecil. Tetapi rohani bayi tersebut pada saat itu sudah befungsi sifat ma’aninya.
3.Apa yang dirasakan oleh bayi pada saat berada dalam kandungan rahim ibu, tidak seorangpun mengetahuinya, kecuali bayi itu sendiri. Sayangnya setiap bayi yang telah tumbuh dewasa tidak dapat mengingat apa yang telah ia rasakan pada waktu ia berada dalam kandungan rahim ibunya.
Di dalam Al Qur’an juga dijelaskan bahwa ketika Roh-Ku ditiupkan ke dalam janin bayi ia telah berjanji kepada Allah SWT. Janji ini dalam bahasa agama disebut Syahadat Awal.
“Dia ingat ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiawa mereka seraya berfirman : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Benar, kami menyaksikan bahwa Engkau Tuhan kami ……” (QS Al A’raaf 7 : 172).
Berdasarkan ayat tersebut para ahli tasawuf berpendapat bahwa seorang bayi dalam kandungan sebenarnya sudah bersyahadah atau telah menyaksikan Wujud Tuhannya dengan mata rohaninya. Hal itu dikarenakan sifat ma’ani dan rohaninya masih berfungsi dengan baik, belum terpengaruh oleh hawa nafsu yang berada pada jasadnya. Sehingga seorang bayi yang masih berada dalam kandungan dapat dikategorikan masih suci baik lahir maupun batin. Tetapi sayangnya bayi tersebut belum mampu mengingat apa yang dirasakan dan dialaminya saat itu karena daya ingat akalnya belum berfungsi. Para ahli tasawuf mengatakan bahwa bayi dalam kandungan ibu sedang melakukan suatu Laku Islam Yang Sejati yaitu laku Musyahadah kepada Allah dengan berserah diri secara total kepada Allah SWT. Falsafah Jawa menyebut keadaan tersebut dengan istilah “mati Dalam Hidup” di alam suwung.
Idul Fithri Sebagai Proses Kembali Ke Pencipta
Setelah seorang bayi dalam kandungan telah cukup bulannya yaitu selama kurang lebih sembilan bulan berada dalam kandungan maka ia secara otomatis akan dilahirkan kealam dunia ini oleh ibunya, inilah yang disebut dengan hari kelahiran seorang bayi, yang diistilahkan dalam dunia kedokteran dengan istilah “Natal”, sedang keadaan bayi dalam kandungan disebut masa “Pre Natal”.
Setelah bayi lahir ke dunia sampai berusia lima tahun ia masih dikategorikan seorang manusia yang masih “suci” karena pengaruh-pengaruh hawa nafsunya belumlah berdampak negative terhadap kesucian rohaninya.
Tetapi ketika seorang manusia memasuki usia akil baligh sampai ia dewasa dan lanjut usia, maka mulailah lingkungan duniawi dan hawa nafsunya mempengaruhi kebersihan rohaninya, hal ini dikarenakan beberapa hal yaitu :
1. Ktika seorang bayi dilahirkan pertama kalinya dari rahim seseorang maka secara ototmatis kesembilan lubang yang terdapat pada jasmaninya mulai terbuka dan berinteraksi dengan hawa dunia tetapi selama masa balita alat-alat inderawinya masih sangat selektif dalam menerima rangsangan duniawi sehingga lingkungan dunianya belum berdampak terhadap perkembangan kapasitas rohaninya
2. Ketika memasuki usia akil baligh dan usia selanjutnya mulailah lingkungan dunia dan hawa nafsunya memberikan dampak negative. Tetapi setiap manusia telah dibekali oleh Allah perlengkapan yang lengkap baik yang lahir maupun yang batin, yaitu Jasad yang sempurna berikut perlengkapannya yaitu Panca Indera yang terdiri dari : Penglihatan, pendengaran, pengecapan/pengucapan, penciuman, serta rasa jasmani. Empat indera tersebut semuanya berada di kepala manusia sedang rasa jasmani tersebar di seluruh tubuh. Selain itu manusia juga dilengkapi oleh akal yang berpusat di kepala yang merupakan perpaduan antara Cipta, Rasa dan Karsa (Fikir, Qalbu, dan Kehendak). Sedangkan perlengkapan yang paling tinggi nilainya adalah Roh yang berasal dari Allah yang telah ditiupkan oleh Allah ketika bayi berusia kurang lebih tiga bulan. Roh manusia ini mempunyai wujud, cirri-ciri, kemampuan, dan kelebihan yang berbeda-beda dengan sifat jasmaninya.
Semua perlengkapan yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia dimaksudkan agar manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai utusan Allah atau Khalifah Allah di muka bumi tetapi sayangnya mayoritas manusia tidak dapat mengemban tugas tersebut bahkan yang lebih parah lagi kebanyakan manusia itu terbelit dengan hawa nafsunya dan dunianya sehingga lupa terhadap tugasnya, lupa terhadap Tuhannya, lupa terhadap syahadatnya, dan lupa terhadap asalnya. Dengan kata lain pada saat itu manusia buta mata hatinya terhadap Tuhannya dan tidak mengenal Asalnya yaitu Allah SWT.
Padahal suatu saat setiap manusia akan mengalami kematian dan rohnya harus kembali kepada yang meniupkannya. Oleh sebab itu Allah memberitahukan kepada setiap manusia agar ia mencari Kampung Akhirat (kampong asalnya) dan juga harus berusaha mengenal dan menemui Allah (Liqa’Allah) ketika ia masih berasa dan hidup di atas bumi.
Dan carilah dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, kampong Akhirat dan janganlah kamu lupakan bagimu di dunia dan berbuat baiklah……” (QS Al Qashash 28 : 77).
“Hai manusia! Sesungguhnya engkau harus berusaha dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, hingga engkau menemuiNya”. (QS Al Insyiqaaq 84 : 6)
Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan agar manusia berusaha untuk kembali menemui Allah agar nantinya ketika wafat Rohnya dapat kembali ke asalnya yaitu Allah. Kembalinya seorang manusia kepada Allah sebagai Al Fathir, hal ini disebut dengan istilah Idul Fithri (Id = kembali, Fithri = Pencipta).
Proses kembalinya seorang manusia ke Pencipta dikiaskan dengan bahasa symbol sebagaimana awal mula kejadian manusia (yaitu keadaan seperti bayi dalam kandungan). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an yaitu :
“Dan sesungguhnya kamu dating kepada Kami sendirian sebagaimana kami ciptakan kamu pada mulanya (awal penciptaan)….” (QS Al An’am 6 : 94).
“Kamu akan kembali menemui-Nya, sebagaimana Ia menciptakan pada mulanya (bayi dalam kandungan)”. (QS Al A’raaf 7 : 29).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut setiap manusia akan kembali menemui Sang Pencipta (Al Fathir) sebagaimana ia diciptakan pada mulanya yaitu seorang bayi. Tetapi kata “bayi” di ayat tersebut bukanlah arti yang sesungguhnya melainkan kata mutasyabihat (symbol) yang maksudnya adalah setiap manusia yang ingin kembali menemui Sang Pencipta (Idul Fithri) maka ia harus melakukan suatu laku seperti seorang bayi dalam kandungan. Para ahli tasawuf menamakan laku tersebut dengan istilah Shaum Khawasul Khawas menjadi Bayi Ma’ani. Untuk mengetahui cara atau metode bertemu kembali dengan Sang Maha Pencipta (Idul Fithri), para pembaca dapat bertanya kepada Guru Mursyid atau juga membaca buku lain dari penulis yang berjudul KUNCI MEMAHAMI ILMU MA’RIFAT. Tetapi sebelum membaca buku tersebut sebaiknya para pembaca merenungkan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits Rasulullah SAW di bawah ini :
“hai orang-orang yang BERIMAN, telah ditulis PUASA atas kamu sebagaimana telah ditulis PUASA atas orang-orang beriman sebelum kamu, agar kamu bertambah TAQWA”. QS Al Baqarah 2 : 183).
“…. Dan berpuasa itu lebih baik bagi kamu, JIKA KAMU MENGETAHUI” (QS Al Baqarah 2 : 184)
“…. Dan hendaknya kamu MENYEMPURNAKAN BILANGAN BULAN ITU dan juga kamu hendaknya MENGAGUNGKAN ALLAH ATAS PETUNJUK-NYA ITU YANG TELAH DIBERIKAN KEPADAMU, supaya kamu BERSYUKUR”. (QS Al Baqarah : 185)
“Jika engkau ru’yah Hilal atau menyaksikan Bulan maka berpuasalah”. (Hadits)
“…… hendaklah kamu juga MENUTUP PANDANGANMU/PENGLIHATANMU”. (QS An Nuur 24 : 30).
“Kami TUTUP JUGA PENDENGARAN MEREKA beberapa lama di dalam GUA”. (QS Al Kahfi 18 : 11).
“Dan sesungguhnya kalau Kami memerintahkan kepada mereka : “Bunuhlah ANFUSMU atau keluarlah dari RUMAHMU (dirimu)!”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka MELAKSANAKAN pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka, dan kalau demikian pasti Kami berikan kepada mereka KARUNIA YANG BESAR DARI SISI KAMI”. (QD An Nisaa 4 : 66-67).
“Ya itu kamu akan menyaksikan SINAR MATAHARI terbit dari sebelah kanan GUA dan terbenam di sebelah kiri GUA, sedangkan mereka ketika itu berada di TEMPAT YANG LUAS dalam Gua tersebut …..” (QS Al Kahfi 18 : 17).
“Sambil mereka berkata : “Ya Tuhan kami, SEMPURNAKANLAH BAGI KAMI CAHAYA KAMI dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS At Tahrim 66 : 8)
Dan kamu mengira mereka itu sadar padahal mereka itu tidak sadar dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dank e kiri, SEDANGKAN ANJING MEREKA MENJULURKAN KEDUA LENGANNYA KE MUKA PINTU GUA. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kalian akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi ketakutan (tanda Tanya) terhadap mereka”. (QS Al Kahfi 18 : 18)
“Puasa adalah milikKu dan Aku yang paling berhak memberikan ganjaran untuknya”. (Al Shawm li wa-ana ajabihi) (Hadits Qudsi).
“Apabila engkau berpuasa, hendaklah telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu, dan mulutmu, tanganmu, dan setiap anggota tubuhmua”. (Hadits).
“Banyak orang berpuasa, hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu”. (Hadits).
“Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh kebaikan dari puasanya kecuali lapar dan haus”. (Hadits).
“Buatlah perut-perutmu lapar dan hati-hatimu haus dan badanmu telanjang, mudah-mudahan mata hati kalian bias melihat Allah di dunia ini” (Hadits).
Seorang sufi bernama Al Hujwiri dalam bukunya yang berjudul KASYFUL MAHJUB meriwayatkan : “Aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan memohon kepada beliau untuk memberikan nasehat kepadaku, dan beliau menjawab : “Tahanlan lidahmu dan tutuplah indera-inderamu”.
“Tatkala aku berada di sisi Rasululullah SAW tiba-tiba beliau bertanya “Adakah orang asing diantara kamu? Lantas beliau bersabda : “Angkat tangan kamu dan memerintahkan agar menutup Pintu”. (HR Al Hakim dari Ya’la bin Syidad).
Rasulullah SAW bersabda : “Lishaimi farhatthani, farhatun’ indal ifthari, wa farhatun’indal liqa’rabihi”. Artinya : bagi orang yang berpuasa pada saat kegembiraan, pertama di saat berbuka dan kedua disaat bertemu Tuhannya. Hadits).
Hai manusia! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, hingga kamu menemui-Nya”. (QS Al Insyiqaaq 84 : 64).
“Dan sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah (liman kaana yarjuloha)…” (QS Al Ahzab 33 : 21).
‘Barangsiapa yang mengharapkan bertemu dengan Allah, maka suatu saat waktu yang dijanjikan Allah akan tiba”. (QS Al Ankabuut 29 : 5).
“Barangsiapa yang bertemu dengan Allah, maka ia harus melakukan amal yang benar….” (QS Al Kahfi 18 : 110).
“… (yaitu) bunuhlah nafs-mu dan keluarlah dari rumahmu (anfus-mu) ani aqtuluu anfusakum awiakhrujuu min diyaarikum)…” (QS An Nisaa’ 4 : 66).
“… barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya…” (QS An Nisaa 4 : 1100).
“…maka masuklah ke dalam Gua, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan Rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang bermanfaat bagimu dalam urusan kamu, yaitu kamu akan melihat Cahaya MATAHARI bersinar dari sebelah kanan di dalam Gua, dan tenggelam di sebelah kiri kamu beada di tempat Yang luas dalam Gua tersebut

IDUL FITRI 2

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Hampir semua orang merasa gembira tatkala shalat hampir selesai, tatkala waktu berbuka puasa tiba, tatkala menjelang hari Raya Idul Fitri, berarti manusia senang berpisah dari Allah SWT, karena kembali kepada tabiat asalnya bukan kembali kepada fitrah manusia yang suci itu, yakni enggan melakukan mujahadah, malas memenuhi hak-hak Allah. Padahal shalat dan puasa adalah perisai yang kokoh guna menghadang pasukan yang bengis dari nafs dan syaithon, dan keberpalingan dari dunia. Orang yang berpaling dari dunia ini akan berpaling kepada Allah SWT. Ironisnya begitu bulan Ramadhon berakhir mereka malah bersuka cita, dan mengatakan sebagai ‘hari kemenangan’, kemenangan dari apa? Tak satu hari pun manusia awam mampu menaklukkan nafsnya, ia tak peduli dengan sifat hakiki jiwa rendahnya, malah bersahabat dengannya, lalu bagaimana ia dapat melakukan shalat dan puasa yang benar? Syaithon saja mengganggu manusia dengan sembunyi-sembunyi, sedangkan manusia malah mengganggu manusia yang lain dengan terang-terangan, dibulan Ramadhon yang suci itu, mereka bersenang-senang, bernyanyi, berjingkrak-jingkrak, tanda mengikuti jiwa rendahnya yang seharusnya ia perangi. Allah SWT berfirman : ‘Dirikanlah shalat untuk berdzikir kepada-Ku,’ dan didalam hadits qudsi Rasulullah,saw., bersabda bahwa Allah SWT berfirman : ‘Puasa adalah untuk-Ku.’Shalat manusia awam pastilah mengingat dunia bukan mengingat Allah SWT, dan puasanya untuk dirinya bukan untuk Allah SWT, jadi sangatlah jauh dari kesempurnaan. Semua sahabat Rasulullah,saw., meneteskan air mata dan merasa bersedih berpisah dengan bulan yang penuh berkah ini. Karena mereka harus berpisah dari kesempatan emas (golden opportunity) untuk pencapaian pensucian diri, meskipun dengan ibadah yang sedikit dan kualitas yang jauh dari kesempurnaan, Allah SWT akan melipat gandakan amal-amalnya, mempercepat pendakian untuk berdekat kepada-Nya. waktu yang demikian berharganya itu berlalu, mereka merasa bagai kehilangan pedang dan kuda saat berperang. Para pejalan sejati akan merasakan hal sama tatkala berpisah dengan bulan Ramadhon, tak kuasa mendekapnya, menjadikan apa-apa yang dilihat, didengarnya menjadi air mata kesedihan. Mereka berdoa : 'Yaa Allah berikan aku umur untuk dapat memasuki semerbak harumnya bulan Ramadhon tahun depan, terimalah puasaku, sucikan dan ampunilah dosa-dosaku.'

Keterangan diatas membuktikan bahwa semua manusia terhalangi (terhijab) dari kebenaran ruhani, kecuali para Aulia Allah dan sahabat-sahabat-Nya yang terpilih. Ada dua macam hijab pada diri manusia, yang pertama adalah sebagai ‘penutup’ yang tidak mungkin bisa dicampakkan, karena sudah menyatu dengan dzatnya, sehingga dalam pandangannya kebenaran dan kepalsuan sama saja baginya. Sebagaimana firman Allah SWT : ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. (QS 083 : 14).’ Kemudian Allah SWT menjelaskan makna hal ini :‘Sesungguhnya orang-orang yang ingkar itu, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.' (QS 002 : 6) Kemudian Dia menerangkan sebabnya : 'Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang Amat berat. (QS 002 : 7) Pendeknya, tidak mungkin membuat cermin dari besi, meskipun digosok ribuan kali dan oleh ribuan orang. Sedangkan yang kedua, adalah hijab sebagai ‘pengabur’ yang segera bisa dicampakkan. Ia terhalang dari kebenaran oleh sifat-sifatnya bukan karena dzatnya, sehingga tabiat dan hatinya terus mencari kebenaran dan menjauhkan diri dari kepalsuan. Karena perubahan sifat adalah mungkin sedangkan perubahan dzat adalah tidak mungkin. Sebagaimana cermin yang berkarat bisa menjadi bening dengan digosok terus menerus. Imam Junayd,ra., berkata bahwa : ‘Hijab penutup termasuk kelompok yang tetap, sedangkan hijab pengabur termasuk yang bisa berubah.’ Sebagaimana watak besi adalah kegelapan dan watak cermin adalah kecermelangan, karena dzat itu langgeng dan sifat itu sementara.

Oleh sebab itu, menggosok atau penghapusan (mahw) karat pada cermin hati merupakan kewajiban manusia agar kembali kepada fitrahnya, yakni tempat bersemayamnya Tuhan penguasa semesta alam. Sehingga terasakan hakikat Idul Fitri, dan tidak hanya dibicarakan saja. Karena bicara itu penuh kepalsuan, sedangkan merasakan hakikat itu sebuah kebenaran, dan orang-orang yang masuk kedalam hakikat akan 'diam'. Penghapusan atau peniadaan atau pe-nafy-an terhadap sifat-sifat yang tercela (hijab pengabur), dan pengkukuhan (itsbat) terhadap kualitas-kualitas terpuji, atau peniadaan pilihan sendiri dan pengkukuhan pilihan Tuhan, atau peniadaan yang lain dan pengkukuhan hanya Allah saja, merupakan pekerjaan wajib bagi para pejalan. Laa Ilaaha adalah pe-nafy-an sedangkan Illallaah adalah peng-itsbat-an. Mereka meyakini bahwa berdzikir dengan menyebut kalimat thoyibah ‘Laa Ilaaha Illallaah’dengan cara-cara tertentu dan jumlah tertentu pula merupakan cara yang jitu dan tercepat guna menghancurkan hijab pengabur. Kaifiat dzikir yang shahih itu, hanya bisa diperoleh dari seorang Mursyid, seorang guru tarekat, seorang syaikh dengan cara bai'at yang hukumnya sunat nabawiyah. Maka bila dikerjakan secara sungguh-sungguh, kepalsuan akan lenyap dan terjelaskan kebenaran-kebenaran. Ia akan merasa sedih tatkala berpisah dengan bulan Ramadhon, dan merasa gembira tatkala memasukinya. Sehingga kemenangannya bukan di dunia fana ini, karena dunia ini adalah tempat medan juang mujahadahnya, tempat menginjak-nginjak hawfa nafsu, melainkan kemenangan di akhirat nantinya, insya Allah. Jadi dihari Idul Fitri ini yang ingin bergembira ya bergembiralah sebagai syiar agama bukan sebagai kemenangan. Karena manusia tetap harus melakukan peperangan melawan nafs-nya sampai ajal menjemputnya, agar ia dikelompokkan kedalam orang-orang yang melakukan jihad akbar, dan bila ia gugur didalam peperangannya, Allah SWT berkenan memasukkannya kedalam kelompok syuhada. Selamat hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H, mohon maaf lahir dan bathin.

IDUL FITRI 3

Muh. Fachri
Idul fitri adalah hari raya umat Islam yang dirayakan pada 1 syawal setelah sebelumnya melewati madrasah ruhaniah ramadhan selama sebulan penuh. Menurut pengamatan empiris, maka kita akan sepakat bahwa semua manusia yang meyakini keEsaan Allah SWT, kenabian Muhammad SAW dan kepastian eskatologi akan merayakan idul fitri dan alunan takbir ALLAHU AKBAR akan menggema di setiap penjuru angkasa raya. Balutan busana bernuansa Islam serentak membanjiri jalan, lapangan dan mesjid-mesjid, tali silaturrahmi kembali terasa erat dan tak jarang air mata membasahi pipi saat rangkulan penuh kasih sesama umat Islam terjalin. Tidak ada yang bisa pungkiri bahwa umat nabi Muhammad SAW. telah merayakan idul fitri dan menegaskan bahwa salah satu sunnah beliau masih terjaga. Namun ketika kita melepaskan pandangan empiris kita dan menutup mata sejenak sambil merenungi hakikat idul fitri maka pertanyaan mendasar muncul dari dalam jiwa dan keluar bersama helaan nafas, “Adakah kita termasuk dari mereka yang benar-benar memanifestasikan hakikat idul fitri sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT yang disampaikan kepada kita melalui kekasihnya nabi Muhammad SAW? ataukah kita adalah umat yang secara praktis mewarisi budaya idul fitri namun nilai-nilainya sangat jauh dari sebenarnya.” Untuk itu mari kita secara bersama-sama melihat idul fitri itu sebenarnya seperti apa.
Makna Idul Fitri
Ada tiga pengertian tentang idul fitri. Di kalangan ulama ada yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada kesucian. Artinya setelah selama bulan Ramadhan umat Islam melatih diri menyucikan jasmani dan ruhaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT, maka memasuki hari lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin.
Ada yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada fitrah atau naluri religius. Hal ini sesuai dengan Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang melakukannya menjadi orang yang takwa atau meningkat kualitas religiusitasnya.
Adapula yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada keadaan dimana umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum di siang hari seperti biasa.
Dari ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki idul fitri umat Islam diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat kualitas religiusitasnya. Salah satu ciri manusia religius adalah memiliki kepedulian terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam surah Al-Ma’un ayat 1-3 disebutkan bahwa, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong mereka memberi makan orang miskin.” Penyebutan anak yatim dalam ayat ini merupakan representasi dari kaum yang sengsara.
Oleh karena itu dapat kita pahami, bahwa umat Islam yang mampu, wajib memberikan zakat fitrah kepada kaum fakir miskin, pemberian zakat tersebut paling lambat sebelum pelaksanaan shalat idul fitri. Aturan ini dimaksudkan agar pada waktu umat Islam yang mampu bergembira ria merayakan idul fitri, orang-orang miskin pun dapat merasakan hal yang sama.
Agama Islam sangat menekankan harmonisasi hubungan antara si kaya dan si miskin. Orang-orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta) untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin. Dan dapat dilihat dari ayat di atas bagaimana penekanan untuk menghindari adanya kesenjangan sosial, dimana ketika menyebutkan anak yatim dan orang miskin. Dapat dilihat bahwa anak yatim dan orang miskin tidak hanya untuk orang Islam tapi seluruh manusia yang menyandang yatim dan kemiskinan.
Dari uraian di muka dapat disimpulkan, bahwa idul fitri merupakan puncak dari suatu metode pendidikan mental yang berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan profil manusia yang suci lahir batin, memiliki kualitas keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial yang harmonis.
Apa Yang Tertinggal Setelah Idul Fitri Berlalu
Seiring hari-hari yang bergerak kian ke depan, suasana Idul Fitri semakin memudar dari kehidupan kita. Simbol-simbol lebaran dan ramadhan yang beberapa waktu lalu digembar-gemborkan, dikibar-kibarkan demikian kencang diberbagai media baik cetak maupun elektronik kini satu-persatu mulai raib. Tetapi adakah spirit ramadhan dan idul fitri tetap tegar menggaung di lubuk jiwa kita?. Kita bergegas, ranah-ranah kebudayaan bergegas, pasar bergegas, budaya pop kita bergegas memburu sesuatu yang lebih baru, tersedot oleh segala yang lebih segar, trendy dan top. Mungkin kita kembali kepada kesibukan kita yang dulu, problem-problem yang dulu dan juga kebiasaan-kebiasaan yang dulu, juga kriminalitas yang tetap seperti dulu.
Harus kita akui, bahwa kelemahan kita dalam masalah keberagamaan bukan sekedar tekstualisme atau skriptualisme yang sempit dan stagnan, tetapi juga momentualisme yang tidak berefek dan seremonial belaka. Selama ini ramadahan dan IdulFitri bukan menjadi berkontemplasi dengan intens dan penuh kesungguhan, tetapi kesempatan untuk berpesta simbol. Sikap seperti ini kemudian dikawinkan dengan kebiasaan yang sangat buruk. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mengidap amnesia sejarah. Sebuah tragedi nasional datang hari ini, idul fitri seakan telah menjadi sesuatu yang “out of date” sehingga rasanya mungkin membosankan dan tak penting lagi. Benarkah…..?
Idul fitri secara formal memang bagian dari hukum dan ajaran agama umat Islam. Tetapi secara perenial dan estoteris ia adalah milik semua manusia. Dan saling memaafkan adalah proses menuju perdamaian dan kedamaian itu.
Memaafkan yang Tak Termaafkan
“Memaafkan (sejatinya) adalah memaafkan yang tak ter-maafkan” ujar Jacques Terrida dalam buku “On Cosmopolitanism and Forgiveness”. Bila kita memaafkan perbuatan salah orang lain yang levelnya kecil, maka itu adalah hal biasa.
Tetapi bila kita sanggup memaafkan perbuatan manusia bahkan yang paling kejam dan tak ter-ampunkan kepada kita, maka disinilah sesungguhnya makna memaafkan yang hakiki, yang benar-benar menantang sejauh mana keluasan hati kita untuk keluar dari luka sejarah, baik pribadi ataupun kolektif. Dengan tradisi saling memaafkan, kita mungkin selesai dan clear dalam persoalan-persoalan personal, tetapi selesai jugakah kita dalam problem-problem struktural? Misalnya, konflik etnis dan konflik horizontal antar-agama di Poso. Bila dihitung dengan logika ‘untung-rugi’, rasanya sulit—apalagi seandainya kita menjadi orang yang terlibat dalam konflik-konflik itu, untuk memaafkan berbagai perbuatan kejam dan tak manusiawi yang menimpa kita. Tetapi, bisakah—dengan ‘kegilaan’ dan keluasan hati kita melupakan luka sejarah yang teramat pahit itu? Memaafkan adalah suatu hal yang melampaui keadilan. Keadilan dalam arti tertentu menuntut suatu pembalasan atau hukuman yang (dianggap) setimpal dengan perbuatan melanggar etika sang pelaku kejahatan. Hukuman itu biasanya dimaksudkan untuk kejeraan si pelaku. Dapat dikatakan, hukuman yang setimpal adalah syarat dari keadilan. Tetapi hukuman dari memaafkan adalah ‘hukuman yang bijak’ yang membuat si pelaku menjadi malu untuk mengulangi kejahatan serupa. Dengan memaafkan nurani pelaku—yang menghukum dirinya sendiri itu, akan berdaya telak berkali lipat. Tidakkah justru ini hakikat hukuman dan keadilan yang sesungguhnya?
Memaafkan pun membutuhkan suatu keahlian untuk ‘melupakan’, tetapi tentunya bukan ‘lupa’ dalam artian keliru. Melupakan di sini berarti melupakan semua kesalahan orang lain, dan memandang hari esok adalah hari baru yang terbebas dari jejak masa lampau yang buruk.
Tidak mungkinkah hal ini diaplikasikan pada ranah kehidupan yang lebih besar lagi? Misalnya memaafkan dalam konteks konflik politik regional, atau bahkan mungkin konflik politik global. Konflik-konflik dunia yang bekepanjangan—sehingga menjadi labirin konflik, menunjukkan bahwa manusia sangat lemah untuk memaafkan. Kelihatannya utopis, memang. Tetapi bukankah filsuf Jerman, Ernst Broch mengatakan bahwa hakikat utopia adalah “the not-yet ontology”, yakni suatu bentuk ontologi yang belum ada, tetapi ia sangat mungkin untuk ada? Mungkin proses kolosal memaafkan akan kita mulai dengan suatu awalan yang amat puitis dan terkesan amat aneh; memaafkan adalah ketika kita bangun tidur dan mendapati hidup serta dunia seakan-akan baru saja dimulai. Tak ada masa lalu, tak ada sejarah, tak ada hasrat untuk menjajah yang lain, tak ada hasrat untuk memperumit perseteruan. Percayalah, bahwa segala yang bisa diharapkan, bisa terjadi. Seberapa utopis pun itu.
Saatnya kita memilih, apakah momentum ritual keberagamaan akan kita posisikan semata sebagai momentum atau seremoni ataukah kita ingin sungguh-sungguh menjadikannya sebagai kaldera waktu dimana kita akan meraih kekuatan untuk menjadikannya sebagai spirit baru untuk meraih hari esok yang cerah yakni dunia yang damai dan merdeka dari luka sejarah.
Dengan spirit perdamaian dan etos memaafkan yang sungguh-sungguh diterapkan sebagai prinsip fundamental dalam paradigma setiap lini kebudayaan kita, perdamaian dunia niscaya bukan angan-angan lagi. Waktu kosmologis kita mungkin telah melaju meningalkan 1 Syawal. Tetapi waktu spiritual kita selalu berporos kepadanya. Hati kita ber-Idul Fitri setiap saat. Semoga.
Mari kita telaah bersama sebuah kisah dari Ali bin Abi Thalib kw,
Dalam suasana Idul Fitri, seseorang berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib kw. Didapatinya, Ali sedang memakan roti keras. Lalu orang itu berkata : “Dalam suasana hari raya engkau memakan roti keras ? ” Ali, tokoh ilmuan di zaman Rasulullah ini menjawab,
“Hari ini adalah Id orang yang diterima puasanya, disyukuri usahanya dan diampuni dosanya. Hari ini Id bagi kami, demikian juga esok, malah setiap hari yang engkau tidak membuat durhaka kepada Allah, itu menurut pandangan kami adalah Id.”
Jadi menurut ayah dari dua cucu kesayangan Nabiullah Muhammad SAW ini, setiap hari yang dilalui dapat diisi dengan ketaatan kepada Allah dan menjauhi dosa maka ia merupakan hari kegembiraan, Id yang bukan Idul Fitri dan Idul Adha. Dengan kata lain, kilah Allahuma Yarham Nawawi Dusky dalam tulisannya ‘Falsafah Idul Fitri’ : “Idul Fitri adalah manifestasi kesanggupan pribadi Mukmin untuk mentaati Allah dengan berpuasa siang dan beribadah malam hari.” Kemampuan demikian disambut dengan kegembiraan Id. Sehingga ada seorang ahli hikmah bertutur : “Hari demi hari mendatang merupakan lembaran hidup yang bersih, maka abdikanlah dia dengan amal karya yang indah.”
Jadi adakah idul fitri yang kita lakoni ini bukan hanya sekedar rutinitas tahunan saja dan adakah sesuatu yang membekas di jiwa setelahnya?
Adakah kita termasuk orang yang pantas merayakan Idul Fitri atau kita hanyalah orang-orang yang merasa pantas untuk itu? Dan jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar