FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
GADAI DAN PEMANFAATAN BARANG
YANG DIGADAIKAN
- PENDAHULUAN
Agama Islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan dalam menyelenggarakan tata cara kehidupan manusia, yaitu mengatur hubungan manusia dengan Khaliqnya, hubungan manusia dengan manusia lainnya dan hubungan manusia dengan alam.
Diantara hubungan manusia dengan manusia lainnya, syari’at Islam telah memerintahkan umatnya supaya tolong-menolong antar sesama yaitu, yang kaya harus menolong yang miskin dan yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk tolong-menolong ini bisa berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman.
Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur (orang yang memberikan pinjaman), jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur (orang yang meminjam), sebagai jaminan utangnya. Sehingga apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, barang jaminan dapat dijual olehkreditur. Konsep tersebut dalam hukum Islam disebut “rahn atau gadai”.[1]
- RUMUSAN MASALAH
- Pengertian dan hukum gadai
- Hukum memanfaatkan barang gadaian
- PEMBAHASAN
- Pengertian dan hukum gadai
- Pengertian gadai
- Pengertian dan hukum gadai
Menurut bahasa rahn atau gadai bermakna “tetap dan kekal”. Dan sebagian ulama lughat memberikan arti bahwa al-rahn berarti “tertahan”.
Adapun definisi al-rahn atau gadai menurut istilah syara’ adalah menjadikan sesuatu benda yang mempumyai nilai harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian utang dari benda itu.
Definisi yang lain terdapat dalam kitab al-Mughny yang dikarang oleh Ibnu Qudamah sebagai berikut: rahn atau gadaiadalah suatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang.
Sedangkan menurut Al-imam Abu Zakaria al-Anshori dalam kitabnya (fathul wahab), rahn atau gadai adalah menjadikan benda yang bersifat harta (harta benda) sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar.[2]
Selain ketiga definisi tersebut, dengan pengertian singkat al-rahn atau gadai adalah menjamin hutang dengan barang yang dimungkinkan dapat memenuhi hutang tersebut.[3]
- Hukum gadai
Gadai hukumnya diperbolehkan dalam syari’at Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah swt.:
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya:
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapat seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS Al-baqarah: 283).[4]
Dalam suatu hadis juga disebutkan:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : اَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اشْتَرى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ اِلى اَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخا رى والمسلم)
Artinya:
“Dan dari Aisyah r.a., bahwa sesungguhnya Nabi saw. pernah membeli makanan dari seorang yahudi secara bertempo, sedang Nabi saw. menggadaikan sebuah baju besi kepada Yahudi itu.” (HR Bukhori dan Muslim).[5]
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa bolehnya membeli dengan harga bertempo, dan bolehnya muamalah dengan orang kafir dalam hal-hal yang tidak haram.
Dan dalam ijma’nya, para Ulama’ membolehkan tentang adanya perjanjian gadai. Hanya mereka sedikit berbeda pendapat tentang: “Apakah gadai hanya dibolehkan dalam keadaan bepergian saja, ataukah bisa dilakukan dimana dan kapan saja?” jumhur (kebanyakan Ulama’) membolehkan gadai pada waktu bepergian dan juga berada di tempat domisilinya, berdasarkan praktek Nabi sendiri yang melakukan gadai pada waktu Nabi berada di Madinah; sedangkan ayat yang mengkaitkan gadai dengan beperian itu tidak dimaksudkan sebagai syarat sahnya gadai, melainkan hanya menunjukkan bahwa gadai itu pada umumnya dilakukan pada waktu bepergian (pada waktu itu).
- Hukum memanfaatkan barang gadaian
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemilik barang maupun oleh penerima gadai, kecuali apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Sebab hak pemilik barang tidak memiliki secara sempurna yang memungkinkan ia melakukan perbuatan hukum, misalnya mewakafkan, menjual, dan sebagainya sewaktu-waktu atas barang miliknya itu; sedangkan hak penerima gadai terhadap barang gadai hanya pada keadaan atau sifat, kebendaannya yang mempunyai nilai, tetapi tidak pada guna dan pemanfaatan/ pemungutan hasilnya. Tetapi tidak berhak menggunakan atau memanfaatkan hasilnya, sebagaimana pemilik barang gadai tidak berhak menggunakan barangnya itu, tetapi sebagai pemilik apabila barang gadainya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi miliknya.[6]
Berikut adalah pendapat beberapa Ulama tentang pemanfaatan barang gadai, yaitu:
- Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berkata: Dari Ibnu Al Musayyib, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda,
لَايَغْلُقُ الرَّهْنُ الرَّهْنَ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
Artinya:
“Transaksi gadai tidak menghilangkan harta gadai dari pemiliknya yang menggadaikannya. Untuknya keuntungannya dan baginya tanggungan kerugiaannya.”[7]
Mengenai pemanfaatan barang gadaian, Imam Syafi’i juga mengatakan dalam kitabnya, yaitu al-Umm bahwa: ”Manfaat dari barang jaminan atau gadaian adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatupun dari barang jaminan itu bagi yang menerima barang gadai.”
Dalam kitab Madzahibul arbaah dijelaskan, bahwa Ulama’-ulama’ Syafi’iyah mengatakan: “Orang yang menggadaikan adalah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan, meskipun barang yang digadaikan itu ada di bawah kekuasaan penerima gadai. Kekuasaan atas barang yang digadaikan tidak hilang kecuali mengambil manfaat atas barang gadaian itu.”
Seterusnya dalam kitab al-umm Imam Syafi’i mencantumkan hadis Rasulullah SAW. yang berbunyi:
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ : لَاتُحْلَبُ مَاشِيَةُ امْرِئٍ بِغَيْرِ اِذْنِهِ (رواه البخارى)
Artinya:
“Dari ibnu umar ia berkata, bersabda Rasulullah SAW. hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya.”(HR Bukhori)
Barang yang digadaikan itu tidak lain hanyalah sebagai jaminan atau kepercayaan saja di penerima gadai. Barang jaminan diserahkan kepada penerima gadai bukan berarti menyerahkan hak milik, tetapi pemilik barang gadaian itu adalah orang yang menggadaikan. Oleh karena yang memiliki barang itu adalah orang yang menggadaikan, maka dengan sendirinya manfaat atau hasil dari barang gadaian itupun adalah kepunyaan yang menggadaikan.
Selanjutnya apabila yang menerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat barang gadaian itu baginya yang disebutkan dalam waktu akad, maka akad tersebut rusak (tidak sah). Dalam setiap keadaan barang yang digadaikan, apabila disyaratkannya dalam waktu akad. Apabila yang menggadaikan mengambil manfaat dari barang gadaian sebelum akad maka hal itu diperbolehkan.
Pengertian yang dapat diambil dari Imam Syafi’i tersebut diatas ialah bahwa manfaat dari barang jaminan secara mutlak adalah hak bagi yang menggadaikan. Demikian pula biaya pengurusan terhadap barang jaminan adalah kewajiban bagi yang menggadaikan. Alasan bagi pendapatnya itu disamping nash-nash Hadis tersebut diatas ialah karena menggadaikan itu bukan menyerahkan hak milik, tetapi hanya sebagai jaminan saja. Maka jika yang memiliki barang jaminan itu orang yang menggadaikan otomatis dia lah yang bertanggung jawab atas resiko dan di pulalah yang berhak atas manfaat yang dihasilkan dari barang tersebut.
- Pendapat Imam Maliki
Imam Maliki dalam hal ini berpendapat sama dengan Imam Syafi’i, yaitu manfaat dari barang jaminan itu adalah hak yang menggadaikan dan bukan bagi penerima gadai. Akan tetapi walaupun demikian
Imam Maliki berpendapat bahwa penerima gadai bisa mengambil manfaat dengan syarat:
1) Utang terjadi disebabkan karena jual beli dan bukan karena menguntungkan.
Hal ini dapat terjadi seperti seseorang menjual suatu barang kepada orang lain dengan harga yang ditangguhkan (tidak dibayar kontan), kemudian dia meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan utangnya, maka ini dibolehkan.
2) Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah untuknya.
3) Jangka waktu mengambil manfaat yang disyaratkan itu waktunya harus ditentukan
Apabila tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka menjadi tidak syah.
Jika syarat tersebut telah jelas ada, maka sah bagi penerima gadai mengambil manfaat dari barang yang digadaikan. Adapun bila dengan sebab mengutangkan, maka tidak sah bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dengan cara apapun,
- baik pengambilan manfaat itu disyaratkan oleh penerima gadai ataupun tidak.
- dibolehkan oleh orang yang menggadaikan atau tidak,
- ditentukan waktunya atau tidak. Ketidakbolehan itu termasuk kepada mengutangkan yang mengambil manfaat, sedangkan hal itu termasuk riba.[8]
- Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad berpendapat bahwa penerima gadai tidak dapat mengambil manfaat dari barang yang digadaikan kecuali hanya pada hewan yang dapat ditunggangi dan diperah susunya dan sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya. Pendapat Imam Ahmad tersebut di atas didasarkan pada Hadis Rasulullah SAW.
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ اِذَا كَانَ مَرْهُوْنًاوَلَبَنُ الدَّرِيُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ اِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا وَعَلىَ الَّذِيْ يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ (رواه البخا ري)
Artinya:
“Dari abi hurairah r.a. dia berkata, bersabda rasulullah saw. gadaian dikendarai oleh sebab nafkahnya apabila ia digadaikan dan susu diminum, dengan nafkahnya apabila digadaikan dan atas orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya” (HR Bukhori).[9]
- Pendapat Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa manfaat barang gadaian adalah hak penerima gadai. [10] Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW.
عَنْ اَبِىْ صَا لِح عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الرَّهْنُ مَرْكُوْبٌ وَمَحْلُوْبٌ وَعَلىَ الَّذِيْ يَرْكَبُ وَيَحْلِبُ النَّفَقَةُ (رواه البخا ري)
Artinya:
“Dari Abi Shalih dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi SAW. bersabda: barang jaminan utang bisa ditunggangi dan diperah dan atas menunggangi dan memerah susunya wajib nafkah”. (HR Bukhori).
Nafkah bagi barang yang digadaikan itu adalah kewajiban yang menerima gadai, karena barang tersebut ada ditangan dan kekuasaan penerima gadai. Oleh karena yang memberi nafkah adalah penerima gadai, maka para Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang berhak mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut adalah pihak penerima gadai.
- KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa, gadai adalah menjamin hutang dengan barang yang dimungkinkan dapat memenuhi hutang tersebut. Sedangkan gadai dalam pandangan islam hukumnya yaitu diperbolehkan berdasarkan Nash Al-Qur’an, Al-Hadis dan ijma’ Ulama,.
Dalam hal pemanfaatan barang gadai, para Ulama berbeda pendapat, yaitu 1). Imam Syafi’i dan Imam Maliki kedua Ulama tersebut sependapat bahwa pengambilan manfaat barang gadai adalah hak yang menggadaikan. Sedangkan penerima gadai tidak dapat mengambil manfaat dari padanya, kecuai atas izin pihak yang menggadaikan. 2). Menurut Imam Hanbali, bahwa penerima gadai tidak dapat mengambil manfaat dari barang yang digadaikan kecuali hanya pada hewan yang dapat di tunggangi dan diperah susunya dan sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya. 3). Menurut Imam Abu Hanifah, bahwa barang manfaat barang gadaian adalah hak penerima gadai.
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an dan Terjemahnya, (Kudus: Menara Kudus, 2006).
Bahreisj, Hussein, Himpunan Hadis Shahih Muslim, Terj. Shahih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987).
Djatnika, Rachmad, Pola Hidup Muslim, terj. Minhajul Muslim, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991).
Hadi, Muhammad Sholikul, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003).
Masjfuk, Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (jakarta: PT Pertja, 1991), cet. II.
Rosadi, Imron, Ringkasan Kitab Al Umm, Terj.Al-Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008).
Yanggo, Chuzaimah T., Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), cet. III.
[1] Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), cet. III, hlm. 78.
[2] Ibid., hlm. 80.
[3] Rachmad Djatnika, Pola Hidup Muslim, terj. Minhajul Muslim, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 97.
[4] Alqur’an dan Terjemahnya, (Kudus: Menara Kudus, 2006), hlm. 49.
[5] Hussein Bahreisj, Himpunan Hadis Shahih Muslim, Terj. Shahih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), hlm. 173.
[6] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (jakarta: PT Pertja, 1991), cet. II, hlm. 117-118.
[7] Imron Rosadi, Ringkasan Kitab Al Umm, Terj.Al-Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 161.
[8] Chuzaimah T. Yanggo, Op.Cit., hlm. 87-88.
[9] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hlm. 73.
[10]Ibid., hlm. 73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar