PERKONGSIAN TAZKIRAH:
**Makna ibadah*
Secara bahasa ibadah bermakna menghinakan diri serta tunduk. Sedangkan secara istilah yaitu sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
َاِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ الله وَيَرْضَاهُ مِنَ الأَعْمَالِ والأَقْوَالِ الظَّاهِرَةِ وَالبَاطِنَة
“Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin.” [Ighatsatul Mustafid: 1/39]
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah yang berkaitan dengan hati. Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisan dan hati. Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah fisik dan hati.
Oleh sebab itu mentauhidkan Allah mencakup tiga hal diatas,sehingga tauhid tidak hanya dalam ibadah shalat dan puasa saja, namun juga pada amalan hati dintaranya yaitu cinta, takut dan harap.
*Cinta, Takut dan Harap adalah Tiga dasar ibadah*
Salah satu pilar pokok dalam beribadah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah adalah menggabungkan tiga hal yaitu perasaan cinta, takut dan harap secara bersamaan. Tidak boleh dengan salah satunya saja.
Pertama, cinta. Di antara dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah firman Allah:
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah: 24)
Kedua, takut. Di antara dalilnya adalah firman Allah ketika menyebutkan ciri orang-orang yang bertakwa:
الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ وَهُم مِّنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُونَ
Yaitu orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat. (QS. Al-Anbiya’: 49)
Ketiga, harap. Di antara dalilnya yaitu firman Allah dalam hadits qudsi, Allah berfirman:
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي
“Wahai anak Adam sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap kepadaku maka niscaya akan Aku ampuni dosa-dosamu dan Aku tidak akan mempedulikannya. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu setinggi langit kemudian engkau meminta ampunan-Ku maka Aku akan ampuni dan Aku tidak peduli.” [HR. Tirmidzi: no 3463]
*Kaum Yang Tersesat*
Apabila seorang hanya mengedepankan salah satu saja di antara ketiga hal itu dalam beribadah maka ia akan menjadi kaum yang tersesat. Dahulu sebagian salafush shalih mengatakan:
مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِالْحُبِّ وَحْدَهُ فَهُوَ زِنْدِيقٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْخَوْفِ وَحْدَهُ فَهُوَ حَرُوْرِيٌّ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالرَّجَاءِ وَحْدَهُ فَهُوَ مُرْجِيءٌ
“Siapa yang mengibadahi Allah dengan perasaan cinta saja maka ia adalah seorang zindiq. Siapa yang mengibadahi-Nya dengan perasaan takut saja maka dia adalah seorang Haruri (Khawarij). Dan siapa yang mengibadahi-Nya dengan perasaan harap saja maka dia adalah seorang Murjiah.” [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil Aqidah: 13]
Imam Ibnul Mubarak rahimahullah meriwayatkan dari Wahab bin Munabbih rahimahullah, bahwa dahulu seorang bijak pernah mengatakan:
إِنِّي لَأَسْتَحْيِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ أَعْبُدَهُ رَجَاءَ ثَوَابِ الجَنَّةِ – أي فَقَطْ – فَأَكُوْن كَالأَجِيْرِ السُّوْءِ إِنْ أُعْطِىَ عَمِلَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَعْمَلْ، إِنِّي لَأَسْتَحْيِ مِنَ اللَّهَ تعالى أَنْ أَعْبُدَهُ مَخَافَةَ النَّارِ – أي فَقَطْ – فَأَكُوْنَ كَالعَبْدِ السُّوْءِ إِنْ رَهِبَ عَمِلَ وَإِنْ لَمْ يَرْهَبْ لَمْ يَعْمَلْ
“Sungguh aku malu kepada Allah jika aku mengibadahinya hanya karena mengaharapkan surga, sehingga aku menjadi seorang pekerja yang buruk. Jika diberi ia bekerja dan jika tidak diberi ia tidak berkerja. Aku juga malu kepada Allah mengibadahinya hanya karena takut neraka, sehingga aku menjadi seorang budak yang buruk. Jika takut ia bekerja dan jika tidak ia tidak bekerja.” [Buhuruz Zakhirah fi Ulumil Akhirah: 2/321]
Oleh sebab itu, seorang mukmin yang benar harus menggabungkan tiga perasaan ini tatkala beribadah kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar