Senin, 05 Desember 2022

9 Ciri-Ciri Hamba-Hamba Arrahman dalam Surat Al-Furqan

 



9 Ciri-Ciri Hamba-Hamba Arrahman dalam Surat Al-Furqan

Ilustrasi Al-Qur'an. Foto: PIxabay

Ada sembilan ciri-ciri dari hamba-hamba Allah Arrahman (Ibadurrahman) dalam Al-Qur’an Surat Al-Furqan, ayat 63 hingga 77. Arrahman adalah nama dan sifat Allah Yang Maha Pengasih. Ibadurrahman adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Furqan, dari ayat 63 hingga 77.

Dalam Tafsir Kemenag RI, ciri dan sifat Ibàdurrahmàn atau para pengabdi Allah adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati tidak dibuat-buat, tapi berjalan secara wajar, tidak menyombongkan diri, dalam sikap dan tindakan.

Sombong adalah sikap itu tidak terpuji dan mengakibatkan hal-hal yang negatif dalam pergaulan. Apabila orang-orang bodoh yang tidak tahu nilai-nilai sosial kemasyarakatan menyapa mereka dengan kata-kata yang menghina, atau kasar, mereka tidak membalasnya dengan ucapan yang semisal. Namun dengan penuh sopan dan rendah hati mereka mengucapkan “salàm,” yang berarti mudah-mudahan kita berada dalam keselamatan, damai, dan sejahtera. Nabi Muhammad telah memberikan contoh sendiri, bahwa semakin dikasari, beliau semakin santun, arif dan bijaksana. Ayat dimaksud berbunyi:

وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا

“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan salam.” QS Al-Furqan: 63).

Dr Wahba bin Mustafa Al-Zuhaili Rahimahullah, dalam kitabnya Al- Tafsir Al-Munir, menyebutkan ada sembilan ciri ibadurrahman, disalin dari Islamonline.net.

1. Rendah Hati (Tawadhu)

Hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yang berjalan di muka bumi dengan kerendahan hati, yaitu hamba-hamba Allah yang beriman, yang mendapat pahala yang baik dari Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS Luqman: 18)

Berjalan dengan angkuh bukanlah berjalan seperti orang sakit, melainkan dengan kesombongan. Bagi seorang mukmin, Rasulullah SAW memberikan keteladanan dalam berjalan, misalnya tidak lambat dan tak pula tergesa-gesa. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia melihat seorang pemuda berjalan perlahan, lalu ia berkata: “Malik, apakah kamu sakit? Dia berkata: Tidak, Amirul Mukminin, mereka melakukannya di dura, dan dia memerintahkannya untuk berjalan dengan tegak (keras).”

Assa’di berkata, Allah mengimbuhkannya kepada nama-Nya, Ar-rahman, sebagai isyarat bahwa mereka telah mencapai kepada kedudukan ini disebabkan rahmat-Nya. Kemudian Allah menjelaskan bahwa sifat-sifat mereka merupakan sifat yang paling sempurna dan karakter-karakter mereka merupakan karakter yang paling utama. Allah menyifati mereka (dengan ungkapan) bahwasannya mereka “berjalan di atas bumi dengan rendah hati,” maksudnya dengan tenang, merendahkan diri kepada Allah dan kepada manusia. Ini adalah pernyataan untuk sifat mereka, yaitu hikmat, tenang dan tawadhu’ (merendahkan diri) kepada Allah dan kepada hamba-hamba-Nya.

Di ayat lain disebutkan:

وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ ٱلْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ ٱلْجِبَالَ طُولًا

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS Al-Isra: 37)

2. Bijak dan Berkata Baik

Orang bijak, kata-katanya selalu mengandung kebaikan, pelajaran, nasihat, dan semisalnya. Bahkan, jika disapa dan diolok-olok oleh orang bodoh dan fasik sekali pun, ia menjawabnya dengan bijak. Menebarkan salam dan mendoakan. Atau berpaling darinya untuk menghindari perbuatan tercela, sebagaimana firman Allah SWT:

وَإِذَا سَمِعُوا۟ ٱللَّغْوَ أَعْرَضُوا۟ عَنْهُ وَقَالُوا۟ لَنَآ أَعْمَٰلُنَا وَلَكُمْ أَعْمَٰلُكُمْ سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِى ٱلْجَٰهِلِينَ

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil”. (QS Al-Qashash: 55)

Jadi, mereka bersabar atas gangguan yang mereka dapatkan dari orang-orang jahil dan kurang akal, sehingga mereka tidak ikut terjerumus dalam kebodohan orang-orang tersebut; serta mereka mengucapkan salam, namun bukan salam penghormatan, melainkan salam perpisahan yang tidak mengandung doa kebaikan atau keburukan.

Assa’di berkata, “dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,” dengan sapaan jahil; ini berdasrkan bukti pengimbuhan kata kerja dan penyandarannya kepada sifat tersebut. “Niscaya mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan,” maksudnya mereka menjawab sapaan mereka dengan sapaan yang selamat dari dosa di dalamnya, dan mereka selamat dari balasan orang jahil dengan kejahilanya. Ini adalah pujian untuk mereka karena sikap santun mereka yang luar biasa, dan membalas orang yang jahat dengan kebaikan dan pemberian maaf terhadap si jahil, dan kematangan akal mereka yang telah mengantar mereka kepada tingkatan ini.

3. Tahajjud (Shalat Malam)

Selanjutnya dalam Surat Al-Furqan ayat 64, Allah berfirman:

وَالَّذِيْنَ يَبِيْتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَّقِيَامًا

“Dan orang-orang yang menghabiskan waktu malam untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri.”

Menurut Sekh Prof Dr Wahbah az-Zuhaili, orang-orang yang menghabiskan malamnya dengan bersujud kepada Allah dan mendirikan shalat tahajjud karena ibadah saat itu paling jauh dari riya’ dan membuat lebih khusyu’.

Sungguh banyak keutamaan shalat malam atau tahajjud. Ibnu Abbas berkata: “Barang siapa yang shalat dua rakaat atau lebih setelah makan malam, maka dia telah menghabiskan malamnya dengan sujud dan berdiri di sisi Allah.”

Orang-orang suka tahajjud menjadikan siangnya sebagai siang terbaik, dan malamnya adalah malam yang paling baik. Allah SWT berfirman:

كَانُوْا قَلِيْلًا مِّنَ الَّيْلِ مَا يَهْجَعُوْنَ * وَبِالْاَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ

“Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam, dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah).” (QS Adz-Dzariyat 17-18)

Di ayat lain, Allah berfirman:

أَمَّنْ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيْلِ سَاجِدًا وَقَآئِمًا يَحْذَرُ ٱلْءَاخِرَةَ وَيَرْجُوا۟ رَحْمَةَ رَبِّهِۦ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS Az-Zumar 9)

Menurut Assa’di, Allah menyifati orang yang gemar beribadah dengan “banyak beramal dan melakukan yang paling utama.” Allah juga menyifatinya dengan “sifat takut dan harap,” dan Allah menyebutkan sebab yang menimbulkan rasa takutnya, yaitu takut azab di akhirat atas dosa-dosa yang telah lalu yang terlanjur ia lakukan. Adapun sebab yang menimbulkan sifat pengharapan yaitu adanya rahmat Allah. Dengan demikian Allah menyifatinya dengan amal lahiriyah dan amal batiniyah.

4. Takut Azab Allah

Kemudian, Al-Furqan ayat 65:

وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَۖ اِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا ۖ

“Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami, karena sesungguhnya azabnya itu membuat kebinasaan yang kekal.”

“Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal,” maksudnya, mengharuskan pelakunya mendapatkan azab, sebagaimana kedudukan orang yang berutang kepada orang yang berpiutang. Allah SWT berfirman:

وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَٰجِعُونَ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS Al-Mu’minun: 60)

Dalam Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir Syekh Dr Muhammad Sulaiman Al Asyqar, meraka bersedekah dengan hati yang takut bahwa sedekah itu belum bisa menyelamatkannya dari azab Allah sebab mereka yakin akan kembali kepada Tuhan mereka. Namun, mereka takut ibadah mereka tidak diterima sebagaimana yang seharusnya.

5. Moderasi dalam Pengeluaran

Kemudian, Al-Furqan ayat 67:

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا

“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.”

Mereka membelanjakan harta atau menginfakkan dengan cara tidak boros, juga tidak kikir, tetapi di antara keduanya. Tidak lengah dalam berbelanja sesuai yang dibutuhkan, dan tidak juga pelit sehingga hartanya ditimbun disimpan saja. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ ٱلْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS Al-Isra’: 29)

Allah memberi petunjuk kepada orang-orang beriman untuk berinfak sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Jangan menahan tangan untuk berinfak di jalan kebaikan dan jangan pula berlebih-lebihan dalam berinfaq sehingga tidak tersisa sedikit pun harta di tanganmu. Hal itu akan membuatmu terhina di hadapan Allah dan para makhluk, dan membuatmu menyesal karena telah menghabiskan harta. di ayat selanjutnya:

إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ ٱلرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ بِعِبَادِهِۦ خَبِيرًۢا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS Al-Isra’: 30)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seberapa tinggi orang yang berhemat.” Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar meriwayatkan dari Hudzaifah yang berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Betapa baiknya niat dalam kekayaan, apa niat baik dalam kemiskinan, dan apa niat yang baik dalam beribadah”.
Diketahui bahwa tidak ada pemborosan dalam kebaikan, juga tidak ada kebaikan dalam kekikiran. Hasan Al-Basri berkata: Tidak ada pemborosan dalam menafkahkan di jalan Allah. Iyas bin Muawiyah berkata: Apa yang kamu lakukan di luar perintah Allah SWT adalah pemborosan.

6. Menjauhi Kemusyrikan, Pembunuhan dan Perzinahan

وَالَّذِيْنَ لَا يَدْعُوْنَ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ وَلَا يَقْتُلُوْنَ النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُوْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ يَلْقَ اَثَامًا ۙ

“dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat.” (QS Al-Furqan: 68)

Allah mencatat tiga dosa besar tersebut adalah karena keberadaannya sebagai dosa yang paling besar. Syirik mengandung pengrusakan terhadap agama, pembunuhan mengandung pengrusakan terhadap jasad, sedangkan zina mengandung pengrusakan terhadap kehormatan. Firman Allah:

يُضَٰعَفْ لَهُ ٱلْعَذَابُ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِۦ مُهَانًا

“(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” (QS Al-Furqan: 69)

Dalam Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an, Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Mas’ud ia berkata, “Aku bertanya – atau Rasulullah SAW ditanya- , “Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau menjawab, “Yaitu kamu adakan tandingan bagi Allah, padahal Dia menciptakanmu.” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Engkau membunuh anakmu karena takut jika ia makan bersamamu.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Engkau menzinahi istri tetanggamu.” Ibnu Mas’ud berkata, “Lalu turun ayat ini membenarkan sabda Rasulullah SAW, “dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina;”

Imam Bukhari juga meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa orang-orang yang sebelumnya musyrik pernah melakukan banyak pembunuhan dan melakukan banyak perzinaan, lalu mereka mendatangi Nabi Muhammad SAW dan berkata, “Sesungguhnya apa yang engkau ucapkan dan engkau serukan sungguh bagus. Sudikah kiranya engkau memberitahukan kepada kami penebus amal kami?” Maka turunlah ayat, “dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina;” dan turun pula ayat, “Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Terj. Az Zumar: 53)

7. Menghindari kesaksian palsu atau kepalsuan

Kemudian, dalam Surat Al-Furqan Ayat 72:

وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”

Menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, orang-orang yang tidak melakukan saksi palsu dengan sengaja, tidak mendatangi tempat-tempat kebathilan karena menyaksikan itu sama seperti ikut serta, dan ketika bertemu dengan perbuatan sia-sia, yaitu setiap sesuatu yang sia-sia baik dalam ucapan maupun tindakan, maka mereka menjauhinya, maknanya mereka tidak mau mengerjakan perbuatan sia-sia dan ikut serta dengan orang yang mengerjakannya.

Firman Allah SWT:

وَإِذَا سَمِعُوا۟ ٱللَّغْوَ أَعْرَضُوا۟ عَنْهُ وَقَالُوا۟ لَنَآ أَعْمَٰلُنَا وَلَكُمْ أَعْمَٰلُكُمْ سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِى ٱلْجَٰهِلِينَ

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil”. (QS Al-Qashash: 55)

8. Tidak Tuli dan Buta

وَٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا۟ عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا

“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (QS Al-Furqan 73)

Menurut Prof Dr Wahbah az-Zuhaili, orang-orang yang apabila diberi nasihat dengan Al-Qur’an, maka mereka menyambutnya dengan mendengarkan, memperhatikan, mengambil manfaat, dan tidak menolaknya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada -ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (QS As Sajdah: 15)

Mereka menghadapinya dengan sikap menerima, butuh dan tunduk. Telinga mereka mendengarkan dan hati mereka siap menampung sehingga bertambahlah keimanan mereka dan semakin sempurna keimanannya serta timbul rasa semangat dan senang.

9. Berdoa kepada Allah

Ciri Ibadurrahman yang terakhir ada di Surat Al-Furqan Ayat 74:

وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

Syekh Prof Dr Wahbah az-Zuhaili mengatakan, orang-orang yang berdoa dengan berkata: “Wahai Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, isteri-isteri dan anak-anak kami sebagai penyejuk mata kami karena bahagia, atau sebagai penggembira jiwa kami dengan menuntun mereka menuju ketaatan, kebaikan dan keutamaan. Dan jadikanlah kami sebagai teladan dalam kebaikan” Ini adalah dalil tentang hukum memohon kepemimpinan yang berlandaskan agama guna mendirikan kewajiban kepemimpinannya, bukan untuk menyombongkan diri dengan kepemimpinan itu

Sumber: Islamonline.net, Tafsir Online Kemenag RI, Tafsirweb.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar