Minggu, 27 April 2014

MODEL DZIKR

Dzikir itu bermacam-macam. Sedangkan Yang Didzikir hanyalah Satu, dan tidak terbatas. Ahli dzikir adalah kekasih-kekasih Allah. 
Maka dari segi kedisiplinan terbagi menjadi tiga: 
Dzikir Jaly
Dzikir Khafy 
Dzikir HaqiqiDzikir Jaly (bersuara), dilakukan oleh para pemula, yaitu Dzikir Lisan yang mengapresiasikan syukur, pujian, pengagungan nikmat serta menjaga janji dan kebajikannya, dengan lipatan sepuluh kali hingga tujuh puluh.

Dzikir Batin Khafy (tersembunyi) bagi kaum wali, yaitu dzikir dengan rahasia qalbu tanpa sedikit pun berhenti. Disamping terus menerus baqa' dalam musyahadah melalui musyahadah kehadiran jiwa dan kebajikannya, dengan lipatan tujuh puluh hingga tujuh ratus kali.
Dzikir Haqiqi yang kamil (sempurna) bagi Ahlun-Nihayah (mereka yang sudah sampai di hadapan Allah swt,) yaitu Dzikirnya Ruh melalui Penyaksian Allah swt, terhadap si hamba. Ia terbebaskan dari penyaksian atas dzikirnya melalui baqa'nya Allah swt, dengan symbol, hikmah dan kebajikannya mulai dari tujuh ratus kali lipat sampai tiada hingga. Karena dalam musyahadah itu terjadi fana', tiada kelezatan di sana.

Ruh di sini merupakan wilayah Dzikir Dzat, dan Qalbu adalah wilayah Dzikir Sifat, sedangkan Lisan adalah wilayah Dzikir kebiasaan umum. Mananakala Dzikir Ruh benar, akan menyemai Qalbu, dan Qalbu hanya mengingat Kharisma Dzat, di dalamnya ada isyarat perwujudan hakikat melalui fana'. Di dalamnya ada rasa memancar melalui rasa dekatNya. 

Begitu juga, bila Dzikir Qalbu benar, lisan terdiam, hilang dari ucapannya, dan itul;ah Dzikir terhadap panji-panji dan kenikmatan sebagai pengaruh dari Sifat. Di dalamnya ada isyarat tarikanpada sesuatu tersisa di bawah fana' dan rasa pelipatgandaan qabul dan pengungkapan-pengungkapan.

Manakala qalbu alpa dari dzikir lisan baru menerima dzikir sebagaimana biasa.

Masing-masing setiap ragam dzikir ini ada ancamannya.
Ancaman bagi Dzikir Ruh adalah melihat rahasia qalbunya. Dan ancaman Dzikir Qalbu adalah melihat adanya nafsu dibaliknya. Sedangkan ancaman Dzikir Nafsu adalah mengungkapkan sebab akibat. Ancaman bagi Dzikir Lisan adalah alpa dan senjang, maka sang penyair mengatakan :

Dialah Allah maka ingatlah Dia
Bertasbihlah dengan memujiNya
Tak layaklah tasbih melainkan karena keagunganNya
Keagungan bagiNya sebenar-benar total para pemuji
Kenapa masih ada 
Pengandaian bila dzikir-dzikir hambaNya diterima?
Manakala lautan memancar, dan samudera melimpah
Berlipat-lipat jumlahnya
Maka penakar lautan  akan kembali pada ketakhinggaan
Jika semua pohon-pohon jadi pena menulis pujian padaNya
Akan habislah pohon-pohon itu, bahkan jika dilipatkan
Takkan mampu menghitungnya.
Dia ternama dengan Sang Maha Puji
Sedang makhlukNya menyucikan sepanjang hidup
Bagi kebesaranNya.

Perilaku manusia dalam berdzikir terbagi tiga:
  • Khalayak umum yang mengambil faedah dzikir.
  • Khalayak khusus yang bermujahadah
  • Khalayak lebih khusus yang mendapat limpahan hidayah.
  • Dzikir untuk khalayak umum, adalah bagi pemula demi penyucian. Dzikir untuk khalayak khusus sebagai pertengahan, untuk menuai takdir. Dan dzikir untuk kalangan lebih khusus sebagai pangkalnya, untuk waspada memandangNya.
  • Dzikir khalayak umum antara penafian dan penetapan (Nafi dan Itsbat)
  • Dzikir khalayak khusus adalah penetapan dalam penetapan (Itsbat fi Itsbat)
  • Dzikir kalangan lebih khusus Allah bersama Allah, sebagai penetapan Istbat (Itsbatul Istbat), tanpa memandang  hamparan luas dan tanpa menoleh selain Allah Ta'ala.
  • Dzikir bagi orang yang takut karena takut atas ancamanNya.
  • Dzikir bagi orang yang berharap, karena inginkan janjiNya.
  • Dzikir bagi penunggal padaNya dengan Tauhidnya
  • Dzikir bagi pecinta, karena musyahadah padaNya.
  • Dzikir kaum 'arifin, adalah DzikirNya pada mereka, bukan dzikir mereka dan bukan bagi mereka.
  • Kaum airifin berdzikir kepada Allah swt, sebagai pemuliaan dan pengagungan.
  • Ulama berdzikir kepada Allah swt, sebagai penyucian dan pengagungan.
  • Ahli ibadah berdzikir kepada Allah swt, sebagai rasa takut dan berharap pencinta berdzikir penuh remuk redam.
  • Penunggal berdzikir pada Allah swt dengan penuh penghormatan dan pengagungan.
  • Khalayak umum berdzikir kepada Allah swt, karena kebiasaan belaka.
[pagebreak] Hamba senantiasa patuh, dan setiap dzikir ada yang Diingat, sedangkan orang yang dipaksa tidak ada toleransi.

Tata cara Dzikir ada tiga perilaku :
1. Dzikir Bidayah (permulaan) untuk kehidupan dan kesadaran jiwa.
2. Dzikir Sedang untuk penyucian dan pembersihan.
3. Dzikir Nihayah (pangkal akhir) untuk wushul dan ma'rifat.
Dzikir bagi upaya menghidupkan dan menyadarkan jiwa, setelah seseorang terlibat dosa, dzikir dilakukan dengan syarat-syaratnya, hendaknya memperbanyak dzikir :
"Wahai Yang Maha Hidup dan Memelihara Kehidupan, tiada Tuhan selain Engkau."

Dzikir bagi pembersihan dan penyucian jiwa, setelah mengamai pengotoran dosa, disertai syarat-syarat dzikir, hendaknya memperbanyak :
"Cukuplah bagiku Allah Yang Maha Hidup nan Maha Mememlihara Kehidupan."

Ada tiga martabat dzikir :
Pertama, dzikir alpA (Qolbu tak hadir) dan balasannya adalah terlempar, tertolak dan terlaknat.
Kedua, dzikir hadirnya hati, balasannya adalah kedekatan, tambahnya anugerah dan keutamaan anugerah.
Ketiga, dzikir tenggelam dalam cinta dan musyahadah serta wushul. Sebagaimana dikatakan dalam syair :

Kapan pun aku mengingatMu, melainkan risau dan gelisahku
Pikiranku, dzikirku, batinku ketika mengingatMu,
Seakan Malaikat Raqib Kau utus membisik padaku
Waspadalah, celaka kamu, dzikirlah!
Jadikan pandanganmu pada pertemuanmu denganNya
Sebagai pengingat bagimu.

Ingatlah, Allah telah memberi panji-panji kesaksianNya padamu
Sambunglah semua dari maknaNya bagi maknamu
Berharaplah dengan dengan menyebut kebeningan dari segala yang rumit
Kasihanilah kehambaanmu yang hina dengan hatimu
Siapa tahu hati menjagamu

Dzikir itu sendiri senantiasa dipenuhi oleh tiga hal :
  • Dzikir Lisan dengan mengetuk Pintu Allah swt, merupakan pengapus dosa dan peningkatan derajat.
  • Dzikir Qalbu, melalui izin Allah swt untuk berdialog dengan Allah swt, merupakan kebajikan luhur dan taqarrub.
  • Dzikir Ruh, adalah dialog dengan Allah swt, Sang Maha Diraja, merupakan manifestasi kehadiran jiwa dan musyahadah.
Dzikir Lisan dan Qalbu yang disertai kealpaan adalah kebiasaan dzikir yang kosong dari tambahan anugerah.
Dzikir Lisan dan Qalbu yang disertai kesadaran hadir, adalah dzikir ibadah yang dikhususkan untuk mencerap sariguna.
Dzikir dengan Lisan yang kelu dan qalbu yang penuh adalah ketersingkapan Ilahi dan musyahadah, dan tak ada yang tahu kadar ukurannya kecuali Allah swt.
Diriwayatkan dalam hadits : "Siapa yang pada wal penempuhannya  memperbanyak membaca "Qul Huwallaahu Ahad" Allah memancarkan NurNya pada qalbunya dan menguatkan tauhidnya.

Dalam riwayat al-Bazzar dari Anas bin Malik, dari Nabi saw. Beliau bersabda :
"Siapa yang membaca surat "Qul Huwallahu Ahad" seratus kali maka ia telah membeli dirinya dengan surat tersebut dari Allah Ta'ala, dan ada suara berkumandang dari sisi Allah Ta'ala di langit-langitNya dan di bumiNya, "Wahai, ingatlah, sesungguhnya si Fulan adalah orang yang dimerdekakan Allah, maka barang siapa yang sebelumnya merasa punya pelayan hendaknya ia mengambil dari Allah swt .

Diriwayatkan pula:
1. "Siapa yang memperbanyak Istighfar, Allah meramaikan hatinya, dan memperbanyak rizkinya, serta mengampuni dosanya, dan memberi rizki tiada terhitung. Allah memberikan jalan keluar di setiap kesulitannya, diberi fasilitas dunia sedangkan ia lagi bangkrut. Segala sesuatu mengandung siksaan, adapun siksaan bagi orang arif adalah alpa dari hadirnya hati dalam dzikir."[pagebreak] 

Dalam hadits sahih disebutkan:
"Segala sesuatu ada alat pengkilap. Sedangkan yang mengkilapkan hati adalah dzikir. Dzikir paling utama adalah Laa Ilaaha Illalloh".
Unsur yang bisa mencemerlangkan qalbu, memutihkan dan menerangkan adalah dzikir itu sendiri, sekaligus gerbang bagi fikiran.
Majlis tertinggi dan paling mulia adalah duduk disertai kontemplasi (renungan, tafakkur) di medan Tauhid. Tawakkal sebagai aktifitas qalbu dan tauhid adalah wacananya. 

Pintu dzikir itu tafakkur, 
Pintu pemikiran adalah kesadaran. 
Sedang pintu kesadaran zuhud. 
Pintu zuhud adalah menerima pemberian Allah Ta'ala (qona'ah)
Pintu Qonaah adalah mencari akhirat.
Pintu akhirat itu adalah taqwa.
Pintu Taqwa ada di dunia.
Pintu dunia adalah hawa nafsu,.
Pintu hawa nafsu adalah ambisi.
Pintu ambisi adalah berangan-angan.
Angan-angan merupakan penyakit yang akut tak bias disembuhkan.
Asal angan-angan adalah cinta dunia.
Pintu cinta dunia adalah kealpaan.
Kealpaan adalah bungkus bagi batin qalbu yang beranak pinak di sana.

Tauhid merupakan pembelah, di mana tak satu pun bisa mengancam dan membahayakannya. Sebagaimana  dinkatakan :
"Dengan Nama Allah,  tak ada satu pun di bumi dan juga tidak di langit yang membahayakan, bersama NamaNya. Dan Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Tauhid paling agung, esensi, qalbu dan mutiaranya adalah Tauhidnya Ismul Mufrad  (Allah) ini, menunggalkan dan mengenalNya.
Sebagian kaum 'arifin ditanya mengenai Ismul A'dzom, lalu menjawab, "Hendaknya anda mengucapkan: Allah!", dan anda tidak ada di sana.
Sesungguhnya orang yang berkata "Allah", masih ada sisa makhluk di hatinya, sungguh tak akan menemukan hakikat, karena adanya hasrat kemakhlukan.

Siapa pun yang mengucapkan "Allah" secara tekstual (huruf) belaka, sesungguhnya secara hakikat dzikir dan ucapannya tidak diterima. Karena ia telah keluar (mengekspresikan) dari unsur, huruf, pemahaman, yang dirasakan, simbol, khayalan dan imajinasi.  Namun Allah swt, ridlo kepada kita dengan hal demikian, bahkan memberi pahala, karena memang tidak ada jalan lain dalam berdzikir, mentauhidkan, dari segi ucapan maupun perilaku ruhani kecuali dengan menyebut Ismul Mufrad tersebut menurut kapasitas manusia dari ucapan dan pengertiannya.

Sedangkan dasar bagi kalangan khusus yang beri keistemewaan dan inayah Allah swt dari kaum 'arifin maupun Ulama ahli tamkin (Ulama Billah) Allah tidak meridloi berdzikir dengan model di atas. Sebagaimana firmanNya :
"Dan tak ada yang dari Kami melainkan baginya adalah maqom yang dimaklumi."

Sungguh indah apa yang difirmankan. Dan mengingatkan melalui taufiqNya pada si hamba, memberikan keistemewaan pada hambaNya. Maka nyatalah Asmaul Husna melalui ucapannya dan dzikir pada Allah melalui dzikir menyebut salah satu AsmaNya.
Maka, seperti firmanNya "Kun", jadilah seluruh ciptaan semesta, dan meliputi seluruh maujud.

Siapa yang mengucapkan "Allah" dengan benar bersama Allah, bukan disebabkan oleh suatu faktor tertentu, namun muncul dari pengetahuan yang tegak bersamaNya, penuh dengan ma'rifat dan pengagungan padaNya, disertai penghormatan yang sempurna dan penyucian sejati, memandang anugerah, maka ia benar-benar mengagungkan Allah Ta'ala, benar-benar berdzikir dan mengagungkanNya dan mengenal kekuasaanNya.

Sebab, mengingat Allah dan mentauhidkanNya adalah RidloNya terhadap mereka bersamaNya, sebagaimana layakNya Dia Yang Maha Suci.

Ma'rifat itu melihat, bukan mengetahui. Melihat nyata, bukan informasi. Menyaksikan, bukan mensifati. Terbuka, bukan hijab. Mereka bukan mereka dan mereka tidak bersama mereka dan tidak bagi mereka. Sebagaimana firmanNya :
"Nabi Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan nikmat kepadanya." (Az-Zukhruf: 59)
"Dan jika Aku mencintainya, maka Akulah Pendengaran baginya, Mata dan tangan dan Kaki baginya."

Bagiamana jalan menuju padaNya, sedang ia disucikan
Dari aktivitas keseluruhan dan bagi-bagi tugas?
Demi fana wujud mereka, karena WujudNya
Disucikan dari inti dan pecahan-pecahannya?
Tak satu pun menyerupaiNya, bahkan mana dan bagaimana
Setiap pertanyaan tentang batas akan lewat
Dan diantara keajaiban-keajaiban bahwa 
WujudNya di atas segalanya dan sirnanya pangkal penghabisan.

Gimana Allah akan memberi-mu,sedangkan dirimu merasa diri kaya?

”Bila anda ingin dilimpahi anugerah-anugerah, maka benarkanlah kefakiranmu dan rasa butuhmu di hadapanNya. ”Sesungguhnya sedekah-sedekah  itu hanya bagi orang-orang yang fakir.” (At-Taubah 60)

APA yang dimaksud dengan meluruskan dan membenarkan kefakiran dan rasa butuh itu? Maknanya adalah menguatkan keduanya dalam dirimu, hingga sampai pada tingkat rasa yang kuat dalam seluruh waktu dan keadaan. Jika belum bisa, anda harus meyakini bahwa dua sifat tersebut akajn selalu ada dalam eksistensi anda, karena secara esensial sifat fakir dan butuh itu selalu ada padamu.
Menurut Syeikh Zarruq hal ini harus diwujudkan dengan:
Megukur bahwa diri anda sesungguhnya tiada.
Mewujudkan hal itu secara rinci dalam kondisi anda.Bahwa dalam gerak atau diam, tetap saja ketiadaan anda menjadi bukti.
Selebihnya siapa yang benar kefakirannya maka ia berhak mendepatkan sedekah dari Allah Azza wa-Jalla berupa anugerah-anugerahNya.
Syeikh Abul Hasan asy-Sayadzily ra,  mengatakan, ”Cara membenarkan kehambaan kita adalah melazimkan kefakiran, ketakberdayaan, hina dina dan rasa lemah, hanya bagi Allah Ta’ala. Dan sebaliknya adalah Sifat Ketuhanan, dan anda tidak berhak memakainya. Karena itu tetaplah berpijak pada sifat kehambaan anda, dan bergantung pada sifat KetuhananNya.
Katakan dari hamparan rasa lemah yang hakiki, ”Wahai Yang Maha Kuat, kepada siapa lagi bagi si lemah ini selain bergantung padaMu?”
Dan dari hamparan kefakiran yang hakiki, katakan, ”Wahai Yang Maha Kaya, kepada siapa lagi bagi si fakir ini selain bergantung kepadaMu?”Dan dari hamparan rasa tak berdaya yang hakiki, katakan, ”Wahai Yang Maha Kuasa kepada siapa lagi bagi si tak berdaya ini, kalau tidak bergantung kepadaMu?”Dari hamparan hinda dina yang hakiki, katakan, ”Wahai Yang Maha Mulia, kepada siapa lagi bergantung bagi si hina ioni, kecuali kepadaMu?”Maka anda akan meraih Ijabah sepanjang tanganmu menengadah, dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya Allah swt menyertai orang-orang yang sabar.”
Selanjutnya Ibnu Athaillah menegaskan: ”Wujudkan sifatmu, engkau akan dilimpahi dengan sifat-sifatNya, dan 
- wujudkanlah melalui rasa hina dinamu engkau dilimpahi KemuliaanNya,(Saat dirimu merasa hina dihadapan-NYA,niscaya Allah Swt akan melimpahi kemuliaan-NYA) 
- wujudkan rasa tak berdayamu engkau dilimpahi  dengan Kemampuan dariNya,(Saat dirimu merasa tak berdaya dihadapan-NYA,niscaya Allah swt akam menuangkan kemampuan-NYA) 
-wujudkan dengan rasa lemahmu engkau dilimpahi daya dan kekuatanNya.”(Saat dirimu merasa lemah dihadapan-NYA,niscaya Allah swt akan menyirami kekuatan-NYA)
Manusia sebagai hamba, harus terus menerus memelihara dan mewujudkankan kehambaannya. Sifat fakir, hina, tak berdaya dan lemah harus terus menerus diwujudkan, dan itulah sebagai hamparan bagi limpahan anugerah melalui Sifat-sifat RububiyahNya kepada kita.
Sehingga kita bisa mulia bersama Allah, Kaya bersamaNya, Mampu bersamaNya, Kuat bersamaNya, bukan bersama dirimu, karena kalau bersama dirimu yang muncul adalah bentuk kesombongan dan kecongkakan.
Keakuan anda harus dilipat dan seluruh sifat kehambaan adalah bentuk  peleburan ego kita. Egoisme dan keakuan itulah penghalang kehambaan, sehingga menghalangi pula ketergantungan kita pada Sifat KetuhananNya.

Jumat, 25 April 2014

perbanyak dzikr sedikitkan meminta

“Terkadang Adab mengarahkan mereka untuk tidak meminta, semata karena mengandalkan pada bagian yang sudah ditentukan, dan lebih menyibukkan dzikir kepada Allah Swt dibanding memohon kepadaNya.”
DALAM Al-Qur’an ditegaskan, “Dia yang menciptaku maka Dialah yang memberi hidayah kepadaku.” (QS. Asyu’ara’: 78). Ketika Nabi Ibrahim as, berada di tempat pelemparan, beliau hanya berkata, “Cukuplah bagiku dibanding permintaanku, adalah pengetahuanNya tentangf kondisiku.” Beliau tidak sama sekali memohon dan mengajukan sesuatu, namun merasa lebih cukup dengan IlmuNya.
Ibnu Athaillah menggunakan kata “terkadang”, karena pada umumnya kaum arifin dan mereka yang fana’ lebih banyak diam dan lebih menerima jalannya takdir, sehingga sedikit sekali mereka memohon. Bagi mereka tidak ada kepentingan terhadap dirinya, karena tidak ada selain Allah sebagai tempat tujuan. Dalam hadits Qudsi  disebutkan: “Siapa yang lebih sibuk berdzikir kepadaKu dibanding meminta kepadaKu, justru Aku beri ia lebih utama dibanding yang Kuberikan kepada orang-orang yang meminta.”
Al-Wasityh menegaskan, “Apa yang berlaku di zaman Azali bagimu, lebih utama dibanding melawan zaman, yakni mencari pemenuhan keinginan.”
Al-Qusyairy mengatakan, “Bila dalam hatinya ada isyarat untuk berdoa, ia akan berdoa. Sebagaimana jika ia temukan upaya atau hamparan untuk doa, maka berdoa itu lebih utama. Sebaliknya bila hatinya berada dalam cekaman, justru diam itu lebih utama”.
Sebab Allah lebih tahu atas apa yang tersembunyi dalam berbagai persoalan kita. Maka Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Sesungguhnya yang diingatkan itu adalah orang yang memiliki sifat alpa, dan yang digugah itu adalah orang yang memiliki sifat lalai.”
Terkadang orang berdoa, seakan-akan mengingatkan kepada Allah Swt, agar peduli padanya, agar ingat atas nasibnya, deritanya. Padahal Allah Swt tak pernah lalai, tak pernah lupa dan tak pernah alpa.  Dalam Al-Qur’an disebutkan “Allah tidak pernah lupa atas apa yang kalian lakukan.” Dan firmanNya, “Bukankah Allah lebih Maha Mencukupi hambaNya?”
Allah Swt tidak butuh untuk diingatkan atau digugah. Karena itu siapa yang merasa mengatur hal-hal yang sudah diatur oleh Allah Ta’ala, justru orang tersebut tergolong orang yang lalai.  Siapa yang sempurna yakinnya kepada Allah, ia merasa cukup dengan aturan kehendakNya, puas dengan IlmuNya dibanding tuntutan dirinya. Rela dengan pengaturanNya dibanding rencana dan rekayasanya. Orang yang sempurna itulah sebagaimana jejak Nabi Ibrahim as, tersebut.
Oleh sebab itu, kalau mereka berdoa, tidak lebih sebagai wujud kehambaan (ubudiyah) demi membuktikan rasa butuhnya yang harus dipertahankan selama-lamanya dihadapanNya. Karena rasa butuh itulah wujud pesta raya bagi para penempuh jalan menuju kepadaNya. Dengan munculnya rasa butuh, kepentingan nafsu jadi sirna, lebih senang dengan munculnya hati yang hadir di hadapanNya.

konsep wali dalam islam sufinews.com


Bila mengacu pada al-Qur’an (Yunus, ayat 62-64), kriteria kewalian itu adalah iman dan taqwa. Dengan sudah terpenuhinya dua kriteria tersebut, berarti seseorang berhak menyandang predikat wali. Apakah
sesederhana itu? Menurut Dr. Asep Usman Ismail, kriteria kewalian dengan kadar keimanan dan ketaqwaan yang baru standar, barulah memenuhi konsep kewalian secara umum. Untuk tidak mengaburkan istilah wali yang demikian kudus, tentunya kita tidak bisa berpatokan pada pemahaman harpiyah dari ayat di atas. Kalau berbicara tentang kadar keimanan saja, sebagaimana dipaparkan dosen UIN Jakarta ini, standar kewalian itu haruslah mengenal Allah melalui penyaksian mata batinnya. Dan pada level ini pun masih bertingkat-tingkat kualitasnya. 

Bagaimana pandangan Anda mengenai konsep kewalian?
Kalau kita kembalikan pada pengertian dasarnya, istilah wali itu kan maknanya bisa dekat, bisa juga kekasih, bisa berarti bimbingan, atau juga pemeliharaan. Jadi pengertian wali itu adalah orang yang dekat dengan Allah; karena kedekatannya itu pula maka ia layak menjadi kekasih Allah; karena telah dekat dan sekaligus menjadi kekasih-Nya, maka ia pun layak mendapat bimbingan dan juga pemeliharaan dari Allah. Karena itu konsep kewalian itu bisa dijelaskan dari sudut relasi, yaitu relasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. 

Apakah dari sudut relasi itu juga dapat menjelaskan adanya tingkatan-tingkatan diantara para wali Allah itu?
Ya, kalau berbicara tentang relasi, kondisi dan intensitas setiap manusia itu kan berbeda-beda. Ada yang baru mendekat, ada yang sudah relatif dekat, ada yang sudah dekat sekali, bahkan ada yang sudah menyatu. Karena kondisinya berbeda-beda, maka kualitas kewaliannya pun menjadi berbeda pula. Itulah sebabnya mengapa ada tingkatan-tingkatan wali.

Dengan adanya tingkatan-tingkatan tadi, apa saja kriterianya sehingga seseorang layak dikategorikan sebagai wali pada tingkatannya yang paling dasar misalnya?
Dalam al-Qur’an Surah Yunus ayat 62 sampai 64 itu disebutkan, persyaratan untuk menjadi wali itu hanya dua saja. Satu beriman, dua bertaqwa. Dari ayat inilah kemudian para ulama menyimpulkan tentang konsep walaayatul-aammah atau kewalian secara umum, ada juga yang mengistilahkannya dengan walaayatut-tauhiid. 

Sejauh mana kadar iman dan taqwa harus dimiliki sehingga seseorang berhak menyandang derajat kewalian dalam konteks walaayatul-‘amah ini?
Kalau menurut Ibnu Taimiyah, kewalian secara umum itu baru konsisten atau istiqamah dalam menjalankan segala yang diperintahkan serta menjauhi segala yang dilarang Allah. Tapi belum sepenuhnya mengerjakan yang disunatkan, belum meninggalkan yang dimakruhkan. Dan untuk kategori ini seseorang belum berhak menyandang derajat kewalian dalam pengertiannya yang khusus. 

Jika demikian, bila konsep kewalian secara umum ini ditonjolkan, mungkin akan berdampak pada pendangkalan makna. Lebih-lebih istilah wali ini sudah sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal konsep kewalian dalam Islam itu kan begitu kudus. Jadi, apa sebenarnya makna kewalian secara khusus?
Pandangan tentang konsep kewalian secara khusus itu cukup beragam. Misalnya ada yang mengklasifikasikannya menjadi 8 tingkatan, yang masing-masing tingkatan itu menunjukkan kualitas yang berbeda. Tapi ada juga yang membaginya menjadi lima tingkatan saja, misalnya Hakim at-Tirmidzi. 

Lalu, siapa saja yang sudah tergolong wali dalam pengertian yang khusus ini?
Sulit juga kalau berbicara tentang person. Kita paling bisa berbicara tentang konsep. Secara konseptual, ada yang disebut walayah haqqullah. Istilah haq yang disandarkan kepada Allah itu mengandung beberapa pengertian. Dalam istilah Haq Allah itu tercermin pengertian pesan, ajaran dan perintah Allah. Karenanya haqullah bisa diartikan dengan syari’at Allah. Jadi auliya pada tingkatan ini adalah mereka yang sudah mampu menjalankan syari’at Allah secara kaaffah, yaitu secara komprehensif dan istiqamah. Jadi tidak ada konsep kewalian yang justru mengabaikan aspek syari’ah. Kecuali itu, istilah haqullah juga mengacu pada realitas wujud yang tertinggi. Jadi kewalian dalam tingkatan ini adalah mereka yang sudah mampu berintegrasi dengan realitas yang tertinggi, yaitu Allah. Pengertian berintegrasi ini tentunya harus mengacu pada apa yang dikonsepsikan oleh para sufi itu sendiri. Ada yang mengkonsepsikannya dengan ma’rifah, ada yang menyebutnya dengan ittihad, hulul dan lainnya. 

Tingkatan berikutnya?
Ada lagi yang disebut waliyullah, tidak digandengkan dengan istilah haq lagi. Tingkatan ini untuk menggambarkan bahwa sang wali itu, bukan berarti tidak lagi berpegang pada syari’at. Tetapi perhatian dan orientasinya sudah pada substansi, bukan lagi berkutat pada aspek formal dari syari’at. Jadi dia sudah sampai pada tingkat merasakan inti atau substansi dari syari’at. Dalam konteks ini, Imam Asy-Syathibi mengistilahkannya dengan hikmah syari’ah. Orang pada level ini adalah mereka yang sudah mencapai Ghaayatush-shidqi fil-‘ibadah, puncak kesungguhan dalam beribadah. Dia sudah mencapai tarap optimal dalam kualitas ibadahnya. Ia sudah jauh melampaui batas minimal

MEMAHAMI HIJAB DAN SIFAT DEKAT-NYA (ALLOH SWT)

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary:SUFISME NEWS.COM“Sebenarnya, Allah Swt tertirai darimu semata-mata karena sangat Maha DekatNya padamu.”
Dalam syarahnya terhadap Al-Hikam, Syeikh Zarruq menegaskan, bahwa dekatnya Allah Swt itu tidak dipahami sebagai dekatnya suatu benda dengan benda lain, atau dekatnya jarak, atau dekatnya sesuatu yang dikaitkan dengan yang lain. Karena dekat semacam itu mustahil bagi Allah Swt.
Yang dimaksud dengan dekatNya adalah kedekatan meliputiNya melalui sifat Ilmu, Qudrat dan IradatNya, selayaknya keMahaBesaran dan keMahaIndahanNya. Dan sudah nyata bahwa Qudrat dan IradatNya meliputi wujudnya hamba dan IlmuNya meliputi seluruh waktu dan gerak gerik hambaNya. Yang menggerakkan aktivitas dan mewujudkan makhluk adalah Dia, karena itu Dialah yang Maha Dekat kepada makhliuk dibanding adanya makhluk itu sendiri.
Sedangkan hijab (tirai) bagi makhluk muncul karena wujud makhluk atau karena makhluk itu diwujudkan. Ketika semakin kuat eksistensi wujud makhluk dan semakin luas ekspresi aktivitasnya, maka semakin kuat pula hijab mereka, disebabkan kesibukan mereka tersebut.Itulah realitas manifestasi kedekatan yang meliputi. Sedangkan kuatnya sifat Dekat membuat makhluk terhijab dari dekat dan yang mendekat. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Dan Kami lebih dekat padanya dibanding kalian, tetapi kalian tidak melihatnya.” (Al-Waqi’ah 85)
Maka Syeikh Abul Abbas Al-Mursy bermunajat: “Wahai Yang Maha Dekat, Engkaulah Yang Dekat, sedangkan akulah yang jauh. Kedekatanmu padaku membuat aku putus asa pada selain DiriMu, sedangkan jauhku padaMu, mengembalikan aku untuk terus mencari anugerah dariMu. Maka limpahkanlah anugerahMu padaku sehingga hasratku terhapus oleh kehendakMu, Wahai Yang Maha Kuat nan Maha Mulia.”
Ibnu Athaillah as-Sakandary melanjutkan:
“Allah Swt tertutup karena dahsyatnya kejelasanNya, dan Dia tersembunyi dari pandangan mata karena agungnya cahayaNya.”
Kejelasan Allah Swt tampak dalam tindakanNya, itulah yang membuat para makhluk tertutup melihatNya langsung. Kejelasan itu disebabkan pancaran Nur SifatNya yang tampak pada seluruh semesta makhluk, yang dinunia ini hanya bisa dilihat secara maknawi (spiritual). Kadar ruhani maknawi seseorang sangat erat kaitannya dengan aktivasi penglihatannya di akhirat kelak, menurut Sunnatullah Swt. 
"Sangat kuatnya wujud kejelasanNya, membuat terhalangnya untuk memandangNya".
Sebagaimana mata kelelawar ketika tersorot oleh cahaya matahari, semakin dekat cahaya itu semakin buta matanya – “Dan bagi Allah adalah contoh yang luhur“
Inilah para Sufi menegaskan, “Orang yang memandang – dalam bertauhid – seperti orang yang memandang matahari, ketika pandangannya semakin bertambah kuat ia semakin buta.”
Maka Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq ra, mengatakan, “Maha Suci Dzat yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk untuk mengenalNya, kecuali jalan itu adalah ketakberdayaan untuk mengenalNya.”

Karomah muncul dari istiqomah al hikam

Sufism.news.com

"Bagaimana  hal-hal biasa bisa ditundukkan padamu? Sedangkan anda tidak pernah menundukkan kebiasaan nafsumu?"
Ada ha-hal luar biasa yang biasanya muncul pada para Sufi yang kelak disebut sebagai karomah. 
Tentu hal yang luar biasa itu tidak akan pernah muncul selama manusia tidak pernah menundukkan dirinya sendiri, dan karenanya hal-hal biasa juga tak pernah tertundukkan.
Hal yang luar biasa itu justru terletak pada keberanian seseorang untuk mengeluarkan dirinya dari dirinya, sebagaimana pandangan para Sufi, "Hakikatmu adalah keluarmu dari dirimu." Maksudnya kita bisa mengeluarkan hasrat nafsu kita dari diri kita.
Hikmah Ibnu Athaillah ini menyembunyikan rahasia, bahwa hakikat Karomah itu justru pada Istiqomah, dimana istiqomah tersebut tidak bisa diraih sepanjang manusia masih senang dan terkukung oleh kesenangan dan kebiasaan nafsunya.
Karena nafsu adalah hijab, dan wujud nafsu itu adalah rasa "aku" dalam diri kita sendiri.
Seorang Sufi ditanya, "Bagaimana anda sampai mencapai tahap luhur ini?"
"Aku bertauhid dengan tauhid paling utama, dan aku berbakti sebagaimana baktinya budak, serta aku taat kepada Allah swt atas perintahNya, apa yang dilarangNya. Maka setiap aku memohon, Dia selalu memberinya."
Dalam suatu Isyarat, Allah swt, berfirman: "HambaKu, Akulah yang berkata pada sesuatu Kun Fayakuun". Maka taatlah kepadaKu, maka engkau pun berkata pada sesuatu "Jadilah! Maka bakal terjadi!".
Dalam hadits shahih, Allah swt berfirman, "Tak ada orang yang mendekat kepadaKu sebagaimana dekatnya orang yang menunaikan apa yang Aku fardhukan kepada mereka, dan senantiasa hambaKu berdekat padaKu dengan ibadah-ibadah sunnah, sampai Aku mencintainya. Maka bila Aku mencintainya, jadilah Aku sebagai Pendengaran baginya, menjadi Mata, Tangan dan Penguat baginya. Maka bila ia meminta padaKu, Aku pasti memberinya, dan bila ia meminta perlindungan padaKu, Aku pasti melindunginya…."
Menembus batas kebiasaan diri seorang hamba, berarti haruslah punya keberanian untuk menyadari kefanaannya dalam kehidupan sehari-hari. 
Karena itu, doktrin, "Aku bisa, aku mampu, aku hebat, aku kuat, aku berdaya…dsb…" Apalagi disertai dengan kata-kata, "Dariku, denganku, untukku, demiku, bagiku, bersandar aku…dsb," justru semakin mempertebal lapisan hijab demi hijab antara hamba dengan Allah swt.
Orang yang meraih karomah, pasti sirna dari keakuannya. Orang yang mendapatkan hal-hal luar biasa, justru fana' seluruh egonyaDan sebaliknya jika kesirnaan aku dan egonya tidak terjadi, maka hal-hal yang luar biasa tidak lebih dari Istidroj yang melemparkan dirinya dari Allah Ta'ala.

Kamis, 24 April 2014

BERDZIKIR

Begitu pula "Allahu akbar", yang di dalamnya ada lima perspektif :
Pertama: Dalam "Allahu Akbar" ada penyebutan Allah Ta'ala pada diriNya Sendiri, pentauhidan, pengagungan dan penghormatan atas
keagunganNya, yang lebih agung dan lebih besar dibanding penyebutan makhlukNya yang lemah, sangat butuh, dan pentauhidan makhluk kepadaNya. Karena Allah swt-lah Yang Maha Mencukupi dan Maha Terpuji. 
Kedua: Dzikir dengan Nama tersebut lebih agung dibanding dzikir dengan Asma'-asma'Nya yang lain.
Ketiga: Bahwa Dzikirnya Allah Ta'ala pada hambaNya di zaman Azali sebelum hambaNya ada, adalah Dzikir teragung dan terbesar, yang menyebabkan dzikirnya hamba saat ini.
Dzikirnya Allah Ta'ala tersebut lebih dahulu, lebih sempurta, lebih luhur, lebih tinggi, lebih mulia dan lebih terhormat. Dan Allah Ta'ala berfirman : "Niscaya Dzikirnya Allah itu lebih besar."
Keempat: Sebenarnya mengingat Allah swt, di dalam sholat lebih utama dan lebih besar  dibanding mengingatNya di luar sholat. Menyaksikan (musyahadah) pada Allah Ta'ala (Yang Diingat) di dalam sholat lebih agung dan lebih sempurna serta lebih besar ketimbang sholatnya.
Kelima: Bahwa mengingat Allah atas berbagai nikmat yang agung dan anugerah mulia, serta doronganNya kepadamu melalui ajakanNya kepadamu agar taat kepadaNya, adalah nikmat paling besar dibanding dzikir anda kepadaNya, dengan mengingat nikmat-nikmat itu, karena anda semua tidak akan pernah mampu mensyukuri nikmatNya.
Karena itu Nabi Muhammad saw, bersabda: "Aku tidak mampu memuji padaMu, Engkau, sebagaimana Engkau memujiMu atas DiriMu."
Artinya, "aku tidak mampu," padahal beliau adalah makhluk paling tahu, paling mulia, dan paling tinggi derajatnya dan paling utama. Justru Nabi saw, menampakkan kelemahannya, padahal beliau adalah paling tahu dan paling ma'rifat - semoga sholawat dan salam Allah melimpah padanya  dan keluarganya -.

Setelah kita mentauhidkan Allah swt, yang dinilai lebih agung ketimbang sholat, sehingga sholat menjadi rukun islam yang kedua. Dalam sabda Rasulullah saw:
"Islam ditegakkan atas lima: Hendaknya menunggalkan Allah dan menegakkan sholat… dst". Takbiratul Ihram dijadikan sebagai pembukanya, Allahu Akbar.
Allah tidak menjadikan salah satu Asma-asma'Nya yang lain, untuk Takbirotul Ihrom, kecuali hanya Allahu Akbar. Karena Nabi saw, melarangnya , demikian juga untuk Lafadz Adzan, tetap menggunakan Takbir tersebut, begitu pun setiap takbir dalam gerakan sholat. Jadi Nama agung tersebut lebih utama dibanding Nama-nama lainnya, lebih dekat bagi munajat-munajat, bukan hanya dalam sholat atau lainnya.
Dalam hadits disebutkan:
"Aku berada pada dugaan hambaKu apabila hamba berdzikir padaKu. Maka apabila ia berdzikir kepadaKu dalam jiwanya, Aku mengingatnya dalam JiwaKu. Dan jika ia berdzikir padaKu dengan kesendirianNya, maka Aku pun mengingat dengan KemahasendirianKu. Dan jika ia berdzikir di tengah padang (keramaian) maka Aku pun mengingatnya di keramaian lebih baik darinya."
Allah swt. Berfirman:"Dzikirlah kepadaKu maka Aku berdzikir kepadamu."

Hal yang menunjukkan keutamaan dzikir dibanding sholat dari esensi ayat tersebut, yaitu firman Allah swt:
"Sesungguhnya sholat itu mencegah keburukan dan kemungkaran."
Yang walau demikian merupakan dzikir teragung, namun Dzikir "Allah" itu lebih besar daripada sholat dan dibanding setiap ibadah Abu Darda' meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda :
"Ingatlah, maukah  aku beri kabar kalian tentang amal terbaikmu dan lebih luhur dalam derajatmu, lebih bersih di hadapan Sang Rajamu, dan lebih baik bagimu ketimbang memberikan emas dan perak, dan lebih baik ketimbang kalian bertemu musuhmu lalu bertempur di mana kalian memukul leher mereka dan mereka pun membalas memukul lehermu?" Mereka menjawab, "Ya, kami mau.." Rasulullah saw, bersabda, "Dzikrullah."

Juga dalam hadits yang diriwayatkan Mu'adz bin Jabal :
"Tak ada amal manusia mana pun yang lebih menyelamatkan baginya dari azdab Allah, disbanding dzikrullah."

Makna Dzikrullah bagi hambaNya adalah bahwa yang berdzikir kepadaNya itu disertai Tauhid, maka Allah mengingatnya dengan syurga dan pahala. Lalu Allah swt berfirman :
"Maka Allah memberikan balasan kepada mereka atas apa yang mereka katakana, yaitu syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya."

Dengan dzikir melalui Ismul Mufrad, yaitu "Allah", dan berdoa dengan ikhlas kepadaNya, Allah swt berfirman :
"Dan apabila hambaKu bertanya kepadaKu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Maha Dekat…"
Siapa yang berdzikir dengan rasa syukurnya, Allah memberikan  tambahan ni'mat berlimpah : 
"Bila kalian bersyukur maka Aku bakal menambah (ni'matKu) kepadamu…"
Tak satu pun hamba Allah yang berdzikir melainkan Allah mengingat mereka sebagai imbalan padanya. Bila sang hamba adalah seorang 'arif (orang yang ma'rifat) berdzikir dengan kema'rifatannya, maka Allah swt, mengingatnya melalui penyingkapan hijab untuk musyahadahnya sang 'arif. 

Bila yang berdzikir adalah mukmin dengan imannya, Allah swt, mengingatnya dengan rahmat dan ridloNya.

Bila yang berdzikir adalah orang yang taubat dengan pertaubatannya, Allah swt, mengingatnya dengan penerimaan dan ampunanNya.
Bila yang berdzikir adalah ahli maksiat yang mengakui kesalahannya, maka Allah swt, mengingatnya dengan tutup dan pengampunanNya. 
Jika yang berdzikir adalah sang penyimpang dengan penyimpangan dan kealpaannya, maka Allah swt mengingatnya dengan adzab dan laknatNya.

Bila yang berdzikir adalah si kafir dengan kekufurannya, maka Allah swt, mengingatnya dengan azab dan siksaNya. 
Siapa yang bertahlil padaNya, Allah swt, menyegerakan DiriNya padanya
Siapa yang bertasbih, Allah swt, membagusinya
Siapa yang memujiNya Allah swt, mengukuhkannya.
Siapa yang mohon ampun padaNya, Allah swt mengampuninya.
Siapa yang kembali kepadaNya, Allah swt, menerimanya.

Kondisi sang hamba itu berputar pada empat hal :
Pertama: Ketika dalam keadaan taat, maka Allah swt, mengingatkannya dengan menampakkan anugerah dalam taufiqNya di dalam taat itu.
Kedua: Ketika si hamba maksiat, Allah swt mengingatkannya melalui tutup dan taubat.
Ketiga:  Ketika dalam keadaan meraih nikmat, Allah swt mengingatkannya melalui syukur kepadaNya.
Keempat: Ketika dalam cobaan, Allah mengingatkannya melalui sabar.

Karena itu dalam Dzikrullah ada lima anugerah :
1. Adanya Ridlo Allah swt.
2. Adanya kelembutan qalbu.
3. Bertambahnya kebaikan.
4. Terjaga datri godaan syetan.
5. Terhalang dari tindak maksiat.

Siapa pun yang berdzikir, Allah pasti mengingat mereka.
  • Tak  ada kema'rifatan bagi kaum a'rifin, melainkan karena pengenalan Allah swt kepada mereka.
  • Dan tak seorang pun dari kalangan Muwahhidun (hamba yang manunggal) melainkan karena ilmunya Allah kepada mereka.
  • Tak seorang pun orang yang taat kepadaNya, kecuali karena taufiqNya kepada mereka.
  • Tak ada rasa cinta sang pecinta kepadaNya, kecuali karena anugerah khusus CintaNya kepada mereka.
  • Tak seorang pun yang kontra kepada Allah swt, kecuali karena kehinaan yang ditimpakan Allah swt, kepada mereka.
  • Setiap nikmat dariNya adalah pemberian. Dan setiap cobaan dariNya adalah ketentuan. Sedangkan setiap rahasia tersembunyi yang mendahului, akan muncul secara nyata di kemudian hari.

Perlu diketahui bahwa kalimat tauhid merupakan sesuatu antara penafiaan dan penetapan. Awalnya adalah "Laa Ilaaha", yang merupakan penafian, pembebasan, pengingkaran, penentangan, dan akhinya adalah "Illallah", sebagai kebangkitan, pengukuhan, iman, tahid, ma'rifat, Islam, syahadat dan cahaya-cahaya.

"Laa" adalah menafikan semua sifat Uluhiyah dari segala hal yang tak berhak menyandangnya dan tidak wajib padanya. Sedangkan "Illallah" merupakan pengukuhan Sifat Uluhiyah bagi yang berhak dan wajib secara hakikat.

Secara maknawi terpadu dalam firman Allah swt :
"Siapa yang kufur pada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka benar-bvenar telah memegang teguh tali yang kuat."

"Laa Ilaaha Illallah", untuk umum berarti demi penyucian terhapad pemahaman mereka,.dari kejumbuhan khayalan imajiner mereka, untuk suatu penetapan atas Kemaha-Esaan, sekalgus menafikan dualitsme.
Sedangkan bagi kalangan khusus sebagai penguat agama mereka, menambah cahaya harapan melalui penetapan Dzat dan Sifat, menyucikan dari perubahan sifat-sifat baru dan membuang ancaman bahayanya.

Untuk kalangan lebih khusus, justru sebagai sikap tanzih (penyucian) terhadap perasaan mampu berdzikir, mampu memandang anugerah serta fadhal dan mampu berssyukur, atas upaya syukurnya

AL HIKAM

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Bagian nafsu dalam kemaksiatan itu jelas nyata. Sedangkan bagian nafsu di dalam ta’at, itu tersembunyi dan tidak nyata. Mengobati yang tersembunyi itu sangat sulit terapinya.”
Bahwa nafsu itu memiliki kecenderungan maksiat dan melakukan tindak maksiat itu sangat nyata dan jelas, karena naluri nafsu memang demikian. Namun ketika nafsu menyelinap di balik aktivitas taat, kebajikan, amaliah, sangat tersembunyi. 
Alur nafsu dalam konteks ini memiliki tiga karakter:
-Takut pada sesama makhluk, 
-Ambisi rizki,
-Rela pada kemauan nafsu itu sendiri.
Munculnya ketiga karakter itu bersamaan dengan selera nafsu.
Sedangkan perselingkuhan nafsu dibalik taat dan ibadah kita begitu tersembunyi. Tiba-tiba ia merasa lebih tinggi dibanding orang lain, lebih suci, kemudian muncul rekayasa untuk manipulasi, dengan tujuan tertentu atau imbalan tertentu, yang menyebabkan riya’.
Mari kita bertanya pada diri sendiri dibalik nafsu yang tersembunyi ini. Apakah ketika kita beribadah, melakukan aktivitas kebajikan dan amaliyah lainnya, agar kita disebut berperan? Agar disebut lebih dibanding yang lain? Mendapat pujian  dan kehormatan orang lain? Anda sendiri dan orang-orang sholeh yang memiliki matahatilah yang mengenal karakter itu.
Karena itu nafsu sering bersembunyi dibalik bendera agama, dibalik aktivitas ibadah dan gerakan massa keagamaan, bahkan nafsu merangsek ornamen penampilan orang-orang saleh, agar disebut saleh.
Disnilah Ibnu Athaillah juga mengingatkan berikutnya: “Kadang-kadang riya’ itu masuk padamu, ketika orang lain tidak memandangmu.”
Kenapa demikian? Karena riya’ itu bertumpu pada pandangan makhluk. Ketika anda bersembunyi atau makhluk lain tidak mengenal anda, lalu anda diam-diam merasa ikhlas, karena makhluk lain tidak melihatmu, itu pun disebut riya’. Sebab unsur makhluk masih tersisa di hatimu.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh, ra,  menegaskan,
1. “Beramal demi pandangan manusia itu adalah syirik. 
2." tidak melakukan amaliah karena agar dipandang manusia, adalah riya’. Meninggalkan amal demi manusia adalah syirik.
 Ikhlas, adalah Allah jika anda diampuni (lalu meninggalkan) kedua faktor di atas.”
Ketika seseorang berlaku riya’, dalam kondisi khalwat, secara diam-diam pula ia ingin disebut lebih utama dibanding yang lain. “Wah saya sudah suluk, saya sudah baiat, saya sudah khalwat… Sedangkan kalian kan belum… Jelas saya lebih baik dibanding anda…”. Bisikan lembut ini adalah bentuk ketakaburan dan riya’.
Inilah mengapa Ibnu Athaillah melanjutkan: “Upayamu untuk meraih kemuliaan agar makhluk mengetahui keistemewaanmu, menunjukkan bahwa ubudiyahmu sama sekali tidak benar.”
Karena, menurut Syeikh Zarruq, ra, manakala anda benar dalam ubudiyah pada Tuhanmu, pasti anda tidak senang jika yang lainNya tahu amalmu.
Sebagian Sufi mengatakan, “Tak seorang pun benar pada Allah Swt, sama sekali, kecuali jika ia senang bila cintanya tidak dikenal oleh yang lain.”
Ahmad bin Abul Hawary ra, mengatakan, “Siapa pun bila senang kebaikannya dipandang orang lain atau disebut-sebut, ia benar-benar musyrik dalam ibadahnya. Karena orang yang berbakti pada cinta, tidak senang bila baktinya dipandang oleh selain yang dijabdi.”
Sahl bin Abdullah ra, mengatakan, “Siapa yang senang pamer amalnya pada orang lain ia telah riya’. Dan siapa yang ingin dikenal  kondisi ruhaninya oleh orang lain, ia adalah pendusta.”
Ibrahim bin Adham nengatakan, “Tidak benar bagi Allah orang yang senang dengan keterkenalan (popularitas).”
Dan menghapus riya’ dan membersihkannya, sudah seharusnya dilakukan dengan memandang kepada Allah Swt dan menolak selain DiriNya

Minggu, 20 April 2014

AMAL PEMBUKA RIZKI YUSUF MANSUR

AL HADID 1-  IRINGI DENGAN SEDEKAH SETIAP HARI JUM'AT
AL HASYR

Hati Kotor aa gym

Penyebab hati kotor:
1.Terlalu Banyak Bicara
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ
الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ
وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْ اللَّهِ الْقَلْبُ الْقَاسِي
Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian banyak bicara tanpa berdzikir kepada Allah, karena banyak bicara tanpa berdzikir kepada Allah membuat hati menjadi keras, dan orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang berhati keras.”
(HR. Tirmidzi, No.2335)
2.Terlalu Banyak Memandang
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan para sahabat untuk tidak banyak memandang serta senantiasa menundukkan pandangannya,
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِي أَنْ
أَصْرِفَ بَصَرِي
“Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu dia berkata; “Aku bertanya kepada Rasulullah mengenai sebuah pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, No. 4083)
3.Terlalu Banyak Makan
Allah Ta'aala berfirman :
{ ا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ
يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ }
“Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. 7:31)
الْمِقْدَامَ بْنَ مَعْدِ يكَرِبَ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ: (( مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ
وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ حَسْبُ الْآدَمِيِّ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ غَلَبَتْ الْآدَمِيَّ
نَفْسُهُ فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ ))
Al Miqdam bin Ma’dikarib berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah anak Adam memenuhi tempat yang lebih buruk daripada perutnya, ukuran bagi (perut) anak Adam adalah beberapa suapan yang hanya dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika jiwanya menguasai dirinya, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk bernafas.” (HR. Ibnu Majah: No. 3340)
4.Terlalu Banyak Bergaul
Hendaknya memperhatikan orang yang ingin dijadikan teman baginya.
((الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ ))
“Seorang laki-laki itu bergantung dengan agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang diantara kalian melihat siapa yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Dawud, No.4193)
Wallahu A'lam

Minggu, 13 April 2014

CARA BERSYUKUR UST.FIRANDA

Syukur mencakup tiga sisi:
a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas anugerah.
b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya.
c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Uraian Al-Quran tentang syukur mencakup sekian banyak aspek. Berikut akan dikemukakan sebagian di antaranya
a. Syukur dengan hati
Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati mengantar manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari betapa besar kemurahan, dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahnya pujian kepada-Nya. Qarun yang mengingkari keberhasilannya atas bantuan Ilahi, dan menegaskan bahwa itu diperolehnya semata-mata karena kemampuannya, dinilai oleh Al-Quran sebagai kafir atau tidak mensyukuri nikmat-Nya (Baca kisahnya dalam surat Al-Qashash (28): 76-82).
Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa malapetaka pun, boleh jadi dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu, tetapi karena terbayang olehnya bahwa yang dialaminya pasti lebih kecil dari kemungkinan lain yang dapat terjadi. Dari sini syukur –seperti makna yang dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikutip di atas– diartikan oleh orang yang bersyukur dengan “untung” (merasa lega, karena yang dialami lebih ringan dari yang dapat terjadi).
Dari kesadaran tentang makna-makna di atas, seseorang akan tersungkur sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada Allah.
Sujud syukur adalah perwujudan dari kesyukuran dengan hati, yang dilakukan saat hati dan pikiran menyadari betapa besar nikmat yang dianugerahkan Allah. Bahkan sujud syukur dapat dilakukan saat melihat penderitaan orang lain dengan membandingkan keadaannya dengan keadaan orang yang sujud. (Tentu saja sujud tersebut tidak dilakukan di hadapan si penderita itu).
Sujud syukur dilakukan dengan meletakkan semua anggota sujud di lantai yakni dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung jari kaki –seperti melakukan sujud dalam shalat. Hanya saja sujud syukur cukup dengan sekali sujud, bukan dua kali sebagaimana dalam shalat. Karena sujud itu bukan bagian dan shalat, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa sujud sah walaupun dilakukan tanpa berwudhu, karena sujud dapat dilakukan sewaktu-waktu dan secara spontanitas. Namun tentunya akan sangat baik bila melakukan sujud disertai dengan wudhu.
b. Syukur dengan lidah
Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah sambil memuji-Nya. Al-Quran, seperti telah dikemukakan di atas, mengajarkan agar pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi “al-hamdulillah.”
Hamd (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji maupun kepada yang lain. Kata “al” pada “al-hamdulillah” oleh pakar-pakar bahasa disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti “keseluruhan”. Sehingga kata “al-hamdu” yang ditujukan kepada Allah mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah Swt., bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya.
Jika kita mengembalikan segala puji kepada Allah, maka itu berarti pada saat Anda memuji seseorang karena kebaikan atau kecantikannya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus dikembalikan kepada Allah SWT, sebab kecantikan dan kebaikan itu bersumber dari Allah. Di sisi lain kalau pada akhirnya ada perbuatan atau ketetapan Tuhan yang mungkin oleh kacamata manusia dinilai “kurang baik”, maka harus disadari bahwa penilaian tersebut adalah akibat keterbatasan manusia dalam menetapkan tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian pasti ada sesuatu yang luput dari jangkauan pandangannya sehingga penilaiannya menjadi demikian. Walhasil, syukur dengan lidah adalah “al- hamdulillah” (segala puji bagi Allah).
c. Syukur dengan perbuatan
Nabi Daud a.s. beserta putranya Nabi Sulaiman a.s. memperoleh aneka nikmat yang tiada taranya. Kepada mereka sekeluarga Allah berpesan,
“Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur!” (QS. Saba [34]: 13).
Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya.
Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh Allah. Ambillah sebagai contoh lautan yang diciptakan oleh Allah SWT. Ditemukan dalam Al-Quran penjelasan tentang tujuan penciptaannya melalui firman-Nya:
“Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untuk kamu) agar kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar, dan (agar) kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari karunia-Nya (selain yang telah disebut) semoga kamu bersyukur” (QS. An-Nahl [16]: 14).
Ayat ini menjelaskan tujuan penciptaan laut, sehingga mensyukuri nikmat laut, menuntut dari yang bersyukur untuk mencari ikan-ikannya, mutiara dan hiasan yang lain, serta menuntut pula untuk menciptakan kapal-kapal yang dapat mengarunginya, bahkan aneka pemanfaatan yang dicakup oleh kalimat “mencari karunia-Nya”.
Dalam konteks inilah terutama realisasi dan janji Allah,
“Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Betapa anugerah Tuhan tidak akan bertambah, kalau setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap hembusan angin yang bertiup di udara, setiap tetes hujan yang tercurah dan langit dipelihara dan dimanfaatkan oleh manusia?
Di sisi lain, lanjutan ayat di atas menjelaskan bahwa “Kalau kamu kufur (tidak mensyukuri nikmat atau menutupinya tidak menampakkan nikmatnya yang masih terpendam di perut bumi, di dasar laut atau di angkasa), maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih.”
Suatu hal yang menarik untuk disimak dari redaksi ayat ini adalah kesyukuran dihadapkan dengan janji yang pasti lagi tegas dan bersumber dari-Nya langsung (QS. Ibrahim [14): 7) Tetapi akibat kekufuran hanya isyarat tentang siksa; itu pun tidak ditegaskan bahwa ia pasti akan menimpa yang tidak bersyukur (QS. Ibrahim [14]: 7).
Siksa dimaksud antara lain adalah rasa lapar, cemas, dan takut.
“Allah telah membuat satu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi (penduduknya) kufur (tidak bersyukur atau tidak bekerja untuk menampakkan) nikmat-nikmat Allah (yang terpendam). Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka mengenakan pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh perbuatan (ulah) yang selalu mereka lakukan” (QS. An-Nahl [16]: 112).
Pengalaman pahit yang dilukiskan Allah ini, telah terjadi terhadap sekian banyak masyarakat bangsa, antara lain, kaum Saba –satu suku bangsa yang hidup di Yaman dan yang pernah dipimpin oleh seorang Ratu yang amat bijaksana, yaitu Ratu Balqis Surat Saba (34): 15-19 menguraikan kisah mereka, yakni satu masyarakat yang terjalin persatuan dan kesatuannya, melimpah ruah rezekinya dan subur tanah airnya.
Negeri merekalah yang dilukiskan oleh Al-Quran dengan baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Mereka pulalah yang diperintah dalam ayat-ayat tersebut untuk bersyukur, tetapi mereka berpaling dan enggan sehingga akhirnya mereka berserak-serakkan, tanahnya berubah menjadi gersang, komunikasi dan transportasi antar-kota-kotanya yang tadinya lancar menjadi terputus, yang tinggal hanya kenangan dan buah bibir orang saja. Demikian uraian Al-Quran. Dalam konteks keadaan mereka, Allah berfirman,
Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka disebabkan kekufuran (keengganan bersyukur) mereka. Kami tidak menjatuhkan siksa yang demikian kecuali kepada orang-orang yang kufur(QS. Saba [34]: 17).
Itulah sebagian makna firman Allah yang sangat populer:
“Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih” (QS. Ibrahim [14]: 7)
bagaimana caranya agar kita dapat menjadi orang yang senantiasa bersyukur? Kita dapat menjadi hamba Allah yang mudah bersyukur dengan membiasakan diri melakukan hal-hal berikut ini.

1. Melihat ke bawah untuk urusan duniawiDengan melihat ke bawah, kita akan mengetahui bahwa kita jauh lebih beruntung dan jauh lebih kaya dibandingkan jutaan manusia di muka bumi ini.
Banyak saudara kita yang tidak dapat makan, tidak memiliki tempat tinggal, menderita penyakit parah, hidup di daerah konflik, atau mengalami musibah bencana alam. Dibandingkan dengan mereka, bukankah apa yang ada pada diri kita jauh lebih baik? Jadi, tidak ada alasan kita tidak bersyukur bukan?

2. Selalu mengingat nikmat yang kita terima dari AllahKita tidak mungkin dapat menghitung nikmat yang kita terima dari Allah SWT saking banyaknya nikmat tersebut. Namun, selalu mengingat sebagian nikmat tersebut akan membawa kita pada rasa syukur.

3. Selalu mengucapkan alhamdulillahUcapan alhamdulilllah yang kita ucapkan setiap kali mendapatkan karunia dari Allah akan mengingatkan kita betapa Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang, yang selalu memberikan yang terbaik bagi manusia. Ucapann ini akan mengingatkan kita agar tidak lupa bersyukur.

4. Membiasakan diri untuk mengucapkan terima kasihUcapan terima kasih yang kita ucapkan setiap kali menerima kebaikan dari orang akan membiasakan kita untuk senantiasa bersyukur atas hal baik yang kita terima.

5. Berhenti mengeluhKetika menghadapi kenyataan yang tidak sesuai harapan, kita kerap kali tergoda untuk mengeluh. Mulailah mengubah kebiasaan ini. Lebih baik berhenti mengeluh dan segera produktif berkarya sehingga hasil yang baik akan kita dapat dan kita pun akan lebih mudah bagi kita untuk bersyukur.

3 Cara Bersyukur

''Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS Alnahl [16]: 18).

Bersyukur merupakan salah satu kewajiban setiap orang kepada Allah. Begitu wajibnya bersyukur, Nabi Muhammad yang jelas-jelas dijamin masuk surga, masih menyempatkan diri bersyukur kepada Allah. Dalam sebuah hadis disebutkan, Nabi selalu menunaikan shalat tahajud, memohon maghfirah dan bermunajat kepada-Nya. Seusai shalat, Nabi berdoa kepada Allah hingga shalat Subuh.

Bersyukur merupakan salah satu ibadah mulia kepada Allah yang mudah dilaksanakan, tidak banyak memerlukan tenaga dan pikiran. Bersyukur atas nikmat Allah berarti berterima kasih kepada Allah karena kemurahan-Nya. Dengan kata lain, bersyukur berarti mengingat Allah yang Mahakaya, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Penyantun.

Para ulama mengemukakan tiga cara bersyukur kepada Allah.

Pertama, bersyukur dengan hati nurani. Kata hati alias nurani selalu benar dan jujur. Untuk itu, orang yang bersyukur dengan hati nuraninya sebenarnya tidak akan pernah mengingkari banyaknya nikmat Allah. Dengan detak hati yang paling dalam, kita sebenarnya mampu menyadari seluruh nikmat yang kita peroleh setiap detik hidup kita tidak lain berasal dari Allah. Hanya Allahlah yang mampu menganugerahkan nikmat-Nya.


Kedua, bersyukur dengan ucapan. Lidahlah yang biasa melafalkan kata-kata. Ungkapan yang paling baik untuk menyatakan syukur kita kepada Allah adalah hamdalah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, ''Barangsiapa mengucapkan subhana Allah, maka baginya 10 kebaikan. Barangsiapa membaca la ilaha illa Allah, maka baginya 20 kebaikan. Dan, barangsiapa membaca alhamdu li Allah, maka baginya 30 kebaikan.''

Ketiga, bersyukur dengan perbuatan, yang biasanya dilakukan anggota tubuh. Tubuh yang diberikan Allah kepada manusia sebaiknya dipergunakan untuk hal-hal yang positif. Menurut Imam al-Ghazali, ada tujuh anggota tubuh yang harus dimaksimalkan untuk bersyukur. Antara lain, mata, telinga, lidah, tangan, perut, kemaluan, dan kaki. Seluruh anggota ini diciptakan Allah sebagai nikmat-Nya untuk kita. Lidah, misalnya, hanya untuk mengeluarkan kata-kata yang baik, berzikir, dan mengungkapkan nikmat yang kita rasakan. Allah berfirman, ''Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).'' (QS Aldhuha [93]: 11).


25 Cara Bersyukur (Part 1) Citacinta
Seringkali kita baru ingat bersyukur saat memperoleh anugerah yang terhitung besar: naik jabatan, ditembak cowok ganteng, dan lainnya. Sementara untuk hal sederhana kita seringkali lupa, bahkan menanggap sebagai hal biasa yang nggak perlu disyukuri.

Padahal, nih, ada banyak hal di sekitar kita (termasuk yang menyebalkan sekalipun) sebenarnya merupakan 'anugerah tersembunyi' yang sudah sepantasnya kita syukuri. Berikut delapan dari 25 cara bersyukur, diantaranya:

Jalanan Macet
Bersyukurlah karena bertumpuknya kendaraan menunjukkan kita tinggal di kota besar, di mana transportasi bukanlah kendala dalam bepergian. Bandingkan dengan perjuangan teman-teman di daerah terpencil yang butuh berjalan kaki melintasi hutan dan bukit untuk beraktivitas.

Gaji kecil
Setidaknya kita punya pekerjaan tetap dan nggak termasuk dari puluhan juta pengangguran yang ada di Indonesia. Lagipula kalau mau menambahkan pemasukan, ada segudang cara, kok.

Rumah jauh
Kita masih punya tempat berteduh, nggak seperti tunawisma yang hidup nomaden di emperan toko dan kolong jembatan.

Ortu bawel
Bersyukurlah karena ortu masih punya energi ngomel-ngomel, bukannya terbaring nggak berdaya di tempat tidur karena sakit.

Rambut sulit diatur
Kita memiliki 'mahkota' untuk ditata. Meski harus bangun lebih pagi untuk catok dan blow. Bayangkan mereka yang harus kehilangan rambut akibat efek kemoterapi.

Pakaian di lemari
Kita bisa memiliki baju yang bisa dikenakan bergantian setiap hari, meski modelnya nggak up to date. Bayangkan mereka yang terpaksa memakai baju itu-itu aja hingga butut karena nggak ada pilihan lain.

Satu liter beras
Bersyukurlah karena memiliki persediaan makanan untuk hari esok, sementara banyak manusia di dunia yang kurus kering dan mengalami malsuntrisi akibat kekurangan pangan.




Kaki pegal
Kita masih bisa merasakan letih setelah kaki digunakan untuk berlari, berdiri di bus, maupun mengenakan stiletto. Bayangkan mereka yang kakinya cacat sejak lahir atau diamputasi


1. Lihatlah sisi positif dari setiap situasi
Apa yang biasanya Anda lakukan ketika Anda menghadapi situasi yang sulit? Apakah Anda marah atau gelisah? Daripada bingung, cobalah melihat dari sisi positif di situasi lain. 

Contohnya, jika Anda mendapat umpan balik yang buruk dari atasan di tempat kerja, lihatlah sisi positifnya. Anda bisa membaca umpan balik dari atasan Anda dan menentukan daerah yang bisa Anda tingkatkan.

Dengan cara ini, Anda bisa bersyukur di waktu berikutnya karena bisa memperbaiki kekurangan dan mendapatkan umpan balik yang lebih baik.

2. Melihat situasi buruk orang lain
Jika Anda mencoba melihat penderitaan orang lain, Anda langsung bersyukur dengan keadaan apapun.

Jika bos Anda memberi Anda waktu yang sulit, berpikir lah kalau situasi yang sedih dari orang-orang yang tak memiliki pekerjaan.

Jika pipa Anda rusak dan Anda merasa frustasi, berpikirlah banyak orang di dunia ini yang mati karena tak bisa minum.

Membandingkan dengan cara ekstrem seperti ini membuat Anda merasa bersyukur dengan situasi Anda sendiri, tak peduli seberapa buruk itu.

3. Pikirkan tentang bagaimana Anda bisa bertahan di masa sulit
Saat sedih, Anda akan langsung bersyukur jika Anda berpikir tentang masa terburuk yang ada di dalam hidup Anda dan Anda berhasil selamat.

Ini bisa dari pengalaman Anda putus hubungan, dipecat dari pekerjaan, atau kehilangan orang yang Anda cintai.

Berpikir tentang masa sulit bisa membuat Anda merasa lebih kuat dan membantu Anda merasa bersyukur saat ini.

4. Mencoba melihat kemurahan hati orang lain
Setiap saat dalam hidup Anda akan melibatkan interaksi dengan orang lain, termasuk teman-teman, mitra, rekan, keluarga, guru, dan rekan kerja. Cobalah melihat kemurahan hati dan kebaikan orang-orang.

Jangan berpikir tentang orang yang tidak baik dengan Anda, tapi berpikirlah tentang siapa yang telah melakukan kebaikan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan karena Anda.

Berpikir tentang keindahan manusia lain bisa membuat merasa bersyukur untuk bertemu dengan orang seperti itu dalam hidup Anda.

5. Hidup tanpa yang Anda sukai dalam 24 jam
Anda mungkin tak menyadari seberapa ketergantungan Anda memiliki ponsel, mobil, laptop, AC, dan gadget atau peralatan yang digunakan setiap harinya. Anda bisa mengujinya dengan hidup tanpa salah satunya yang sering Anda gunakan dalam 24 jam.